Minggu, 17 Agustus 2014

MERDEKA ATAU MATI



Oleh : Ust. A. Hefni Zain

 Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa ”sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”.
Melampaui itu, sejatinya kemerdekaan bukan saja hak segala bangsa tetapi juga hak semua manusia dimanapun berada baik yang punya bangsa atau tidak, bahkan kemerdekaan juga merupakan hak semua mahluk Tuhan di makro kosmos ini. Maka setiap bentuk distorsi atas kemerdekaan dan kebebasan semua mahluk Tuhan di jagad raya ini,  apakah itu eksploitasi, diskriminasi atau penjajahan (baik oleh bangsa lain atau bangsa sendiri, baik oleh orang lain atau diri sendiri), mutlak harus dilawan karena bukan saja bertentangan dengan prikemanusiaan dan prikeadilan  tetapi juga bertentangan dengan hak dasar (grand design) penciptaan semua mahluk, bertentangan dengan pri dan pro kemakhlukan.
Menyadari betapa vitalnya kemerdekaan bagi --utamanya-- makhluk spesies manusia, tak heran para pendahulu kita di negeri ini berjuang mati matian, termasuk rela mati beneran demi memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah harga sebuah kemerdekaan.  Munculnya istilah “merdeka atau mati” sesungguhnya menegaskan bahwa hidup manusia adalah diukur oleh kemerdekaannya, manakala kemerdekaan itu hilang darinya, maka dia dianggap tidak hidup kendati masih hidup, dia akan dianggap mati kendati belum mati, warga negara dihitung hidup hanya bila dia merdeka dalam segala bentuk dan maknanya.
Hidupnya bangsa ini adalah ketika ia memberikan kemerdekaan, kesejahteraan, kemakmuran dan kemanfaatan bagi seluruh rakyatnya. Apa makna pembukaan UUD 45 kalau yang berhasil memasuki pintu gerbang kemakmuran hanya segelintir orang saja, sementara yang lain (yang justru terbanyak) hanya berada diluarnya berdesak-desakan ?  Apa makna proklamasi kemerdekaan kalau sebagian besar rakyat Indonesia masih tetap menderita?                                    
Kemerdekaan sejati adalah terbebasnya manusia dari berbagai bentuk ketidak berdayaan dan keterbelakangan disegala bidang, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah terbebasnya manusia dari berbagai  model penjajahan baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Kemerdekaan yang hakiki adalah terbebasnya manusia dari berbagai bentuk ketergantungan terhadap apapun atau siapapun selain kepada yang Adi kodrati.
Lazimnya, penjajah selalu difahami sebagai sesuatu yang datang dari bangsa lain atau orang lain di luar kita, padahal sesungguhnya ia bisa juga datang dari dalam bangsa  kita sendiri bahkan dari diri kita sendiri. Prilaku sebagian pembesar bangsa kita bisa jadi justru yang penjajah dan menjadikan kita kehilangan kemeredekaan untuk dapat hidup layak sebagaimana adanya sesuai keadaan bangsa yang sumber daya alamnya dapat disebut melimpah, cara berfikir dan pola hidup sebagian kita juga acapkali menjadikan sebagian saudara kita terampas hak kebebasan dan kemerdekaannya.
Setelah lebih dari setengah abad Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan politik konvensional negara Asing, maka tugas kita kedepan adalah membebaskan masyarakat kita dari berbagai  bentuk penjajahan baru dari bangsa kita sendiri. Sebab tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini  nilai dan semangat kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan harta, darah dan nyawa generasi sebelumnya belum sepenuhnya dipraktekkan di bumi tercinta ini, masyarakat kita belum sepenuhnya memperoleh kemerdekaan dalam arti yang sesunggunya. Betapa masih banyak kebodohan, kelaparan dan kesengsaraan hidup yang diderita sebagian rakyat indonesia. Tidak terhitung tubuh tubuh layu yang kurang gizi, masih jutaan anak bangsa yang putus sekolah karena tidak ada biaya. bahkan tidak sedikit saudara kita yang  terpaksa menjual imannya demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidup. Emansipasi yang seharusnya membebaskan wanita dari berbagai bentuk eksploitasi sebagaimana diperjuangkan Kartini, saat ini malah terjadi sebaliknya. Wanita telah menjadi komoditas yang diperjual belikan dan dieksploitir. Dalam  realaitas seperti  ini benarkah kita sudah merdeka ?
Belum lagi pola hidup para elit yang sering kontradiktif  dan inkonsisten, Bagaimana rakyat bisa belajar hidup sederhana kalau para peminpinnya berlomba mengejar kemewahan ? Bagaimana mungkin rakyat dapat hidup sejahtera bila para peminpinnya tidak menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai orientasi kepeminpinannya, Rakyat lebih sering diatas namakan daripada diberdayakan, lebih sering dipecundangi daripada ditunjangi, lebih sering digagahi daripada digugahi, lebih sering dimanfaatkan daripada berbuat untuk rakyat sesuatu yang bermanfaat. Kini rakyat mulai yakin bahwa banyak orang hanya membunuh macan untuk dimacani sendiri”. Indonesia adalah negara yang sumber daya alamnya melebihi negara-negara tetangga, tetapi kenapa masyarakatnya tidak memperoleh kesejahteraan seperti yang diperoleh masyarakat di negara tetangga itu ?
Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, semua anak bangsa mesti mengevaluasi diri, apakah perkembangan bangsa ini sudah sebanding dengan nilai dan harga perjuangan genarasi sebelumnya yang telah merelakan segalanya demi kemerdekaan. Saya yakin, jika para bunga bangsa itu tahu apa yang terjadi di negeri ini setelah lebih dari setengah abad  merdeka, mereka pasti akan sangat kecewa.  Dan bisa jadi mereka menyesal  telah mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan, jika anak cucunya yang diberi amanah untuk mempertahankan kemerdekaan justru malah menjajah bangsa sendiri.
Saya kira sudah saatnya semua pihak di negeri ini harus mulai berjuang merobah pola lakunya yang biasa memakan hari depan anak anaknya sendiri. Saatnya berperang melawan semua bentuk penjajahan kendati penjajah itu datang dari dalam diri kita sendiri, Jargonnya tetap sama “ Merdeka atau mati”.
 Ketahuilah semua kejahatan bermula dari yang sedikit, kemudian tiap orang sesudah itu menambahnya sehingga akhirnya menjadi sangat besar. Jika peminpin makan sebutir jeruk dari kebun rakyatnya, anak buah peminpin itu akan berlomba mencabuti seluruh pohonnya. Jika peminpin menilep sedikit saja uang rakyat atau uang negara, maka anak buah peminpin akan berlomba  menjual seluruh negerinya. saatnya para penguasa  belajar banyak, sebab rakyat telah mengalami banyak.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kisah yang barangkali dapat menjadi sarana menakar diri : Suatu hari sang pengauasa secara resmi berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku, kalian semua mesti bersyukur kepada Tuhan karena sejak aku menjadi penguasa, negeri ini bebas dari wabah penyakit. Tiba tiba di tengah halayak, seorang rakyat jelata memberanikan diri intrupsi, maaf paduka, Tuhan kasihan kepada kami sehingga tidak mungkin memberi kami dua bencana sekaligus. Apa yang kamu maksud dua bencana ? Tanya si penguasa itu  penasaran,  yaa wabah penyakit dan anda sendiri, jawabnya lirih. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar