Oleh : Ust. A. Hefni Zain
Dalam pembukaan
UUD 1945 disebutkan bahwa ”sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”.
Melampaui itu, sejatinya
kemerdekaan bukan saja hak segala bangsa tetapi juga hak semua manusia
dimanapun berada baik yang punya bangsa atau tidak, bahkan kemerdekaan juga
merupakan hak semua mahluk Tuhan di makro kosmos ini. Maka setiap bentuk
distorsi atas kemerdekaan dan kebebasan semua mahluk Tuhan di jagad raya
ini, apakah itu eksploitasi,
diskriminasi atau penjajahan (baik oleh bangsa lain atau bangsa sendiri, baik
oleh orang lain atau diri sendiri), mutlak harus dilawan karena bukan saja
bertentangan dengan prikemanusiaan dan prikeadilan tetapi juga bertentangan dengan hak dasar (grand design) penciptaan
semua mahluk, bertentangan dengan pri dan pro kemakhlukan.
Menyadari betapa vitalnya
kemerdekaan bagi --utamanya-- makhluk spesies manusia, tak heran para pendahulu
kita di negeri ini berjuang mati matian, termasuk rela mati beneran demi
memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Itulah harga
sebuah kemerdekaan. Munculnya istilah
“merdeka atau mati” sesungguhnya menegaskan bahwa hidup manusia adalah diukur
oleh kemerdekaannya, manakala kemerdekaan itu hilang darinya, maka dia dianggap
tidak hidup kendati masih hidup, dia akan dianggap mati kendati belum mati, warga
negara dihitung hidup hanya bila dia merdeka dalam segala bentuk dan maknanya.
Hidupnya bangsa ini adalah ketika ia
memberikan kemerdekaan, kesejahteraan, kemakmuran dan kemanfaatan bagi seluruh rakyatnya. Apa makna pembukaan
UUD 45 kalau yang berhasil memasuki pintu gerbang kemakmuran hanya segelintir
orang saja, sementara yang lain (yang justru terbanyak) hanya berada diluarnya
berdesak-desakan ? Apa makna proklamasi
kemerdekaan kalau sebagian besar rakyat Indonesia masih tetap menderita?
Kemerdekaan sejati adalah terbebasnya
manusia dari berbagai bentuk ketidak berdayaan dan keterbelakangan disegala
bidang, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah terbebasnya manusia dari
berbagai model penjajahan baik dari luar
maupun dari dalam dirinya. Kemerdekaan yang hakiki adalah terbebasnya manusia
dari berbagai bentuk ketergantungan terhadap apapun atau siapapun selain kepada
yang Adi kodrati.
Lazimnya, penjajah selalu difahami
sebagai sesuatu yang datang dari bangsa lain atau orang lain di luar kita,
padahal sesungguhnya ia bisa juga datang dari dalam bangsa kita sendiri bahkan dari diri kita sendiri.
Prilaku sebagian pembesar bangsa kita bisa jadi justru yang penjajah dan
menjadikan kita kehilangan kemeredekaan untuk dapat hidup layak sebagaimana
adanya sesuai keadaan bangsa yang sumber daya alamnya dapat disebut melimpah,
cara berfikir dan pola hidup sebagian kita juga acapkali menjadikan sebagian saudara
kita terampas hak kebebasan dan kemerdekaannya.
Setelah lebih dari
setengah abad Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan politik
konvensional negara Asing, maka tugas kita kedepan adalah membebaskan
masyarakat kita dari berbagai bentuk
penjajahan baru dari bangsa kita sendiri. Sebab tidak dapat dipungkiri, hingga
saat ini nilai dan semangat kemerdekaan
yang diperoleh dengan pengorbanan harta, darah dan nyawa generasi sebelumnya
belum sepenuhnya dipraktekkan di bumi tercinta ini, masyarakat kita belum
sepenuhnya memperoleh kemerdekaan dalam arti yang sesunggunya. Betapa masih
banyak kebodohan, kelaparan dan kesengsaraan hidup yang diderita sebagian
rakyat indonesia. Tidak terhitung tubuh tubuh layu yang kurang gizi, masih
jutaan anak bangsa yang putus sekolah karena tidak ada biaya. bahkan tidak
sedikit saudara kita yang terpaksa
menjual imannya demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidup. Emansipasi
yang seharusnya membebaskan wanita dari berbagai bentuk eksploitasi sebagaimana
diperjuangkan Kartini, saat ini malah terjadi sebaliknya. Wanita telah menjadi
komoditas yang diperjual belikan dan dieksploitir. Dalam realaitas seperti ini benarkah kita sudah merdeka ?
Belum lagi pola
hidup para elit yang sering kontradiktif
dan inkonsisten, Bagaimana rakyat bisa belajar hidup sederhana kalau
para peminpinnya berlomba mengejar kemewahan ? Bagaimana mungkin rakyat dapat
hidup sejahtera bila para peminpinnya tidak menjadikan kesejahteraan rakyat
sebagai orientasi kepeminpinannya, Rakyat lebih sering diatas namakan daripada
diberdayakan, lebih sering dipecundangi daripada ditunjangi, lebih sering
digagahi daripada digugahi, lebih sering dimanfaatkan daripada berbuat untuk
rakyat sesuatu yang bermanfaat. Kini rakyat mulai yakin bahwa banyak orang
hanya membunuh macan untuk dimacani sendiri”. Indonesia adalah
negara yang sumber daya alamnya melebihi negara-negara
tetangga, tetapi kenapa masyarakatnya tidak memperoleh kesejahteraan seperti
yang diperoleh masyarakat di negara tetangga itu ?
Dalam usianya yang lebih dari setengah abad, semua anak bangsa mesti mengevaluasi
diri, apakah perkembangan bangsa ini sudah sebanding dengan nilai dan harga
perjuangan genarasi sebelumnya yang telah merelakan segalanya demi kemerdekaan.
Saya yakin, jika para bunga bangsa itu tahu apa yang terjadi di negeri ini
setelah lebih dari setengah
abad merdeka, mereka pasti akan sangat kecewa. Dan bisa jadi mereka menyesal telah mengorbankan segalanya untuk
kemerdekaan, jika anak cucunya yang diberi amanah untuk mempertahankan
kemerdekaan justru malah menjajah bangsa sendiri.
Saya kira sudah saatnya semua pihak di
negeri ini harus mulai berjuang merobah pola lakunya yang biasa memakan hari
depan anak anaknya sendiri. Saatnya berperang melawan semua bentuk penjajahan
kendati penjajah itu datang dari dalam diri kita sendiri, Jargonnya tetap sama
“ Merdeka atau mati”.
Ketahuilah semua kejahatan bermula dari yang
sedikit, kemudian tiap orang sesudah itu menambahnya sehingga akhirnya menjadi
sangat besar. Jika peminpin makan sebutir jeruk dari kebun rakyatnya, anak buah
peminpin itu akan berlomba mencabuti seluruh pohonnya. Jika peminpin menilep sedikit
saja uang rakyat atau uang negara, maka anak buah peminpin akan berlomba menjual seluruh negerinya. saatnya para
penguasa belajar banyak, sebab rakyat
telah mengalami banyak.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini
dengan sebuah kisah yang barangkali dapat
menjadi sarana menakar diri : Suatu
hari sang pengauasa secara resmi berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku,
kalian semua mesti bersyukur kepada Tuhan karena sejak aku menjadi penguasa,
negeri ini bebas dari wabah penyakit. Tiba tiba di tengah halayak, seorang rakyat
jelata memberanikan diri
intrupsi, maaf paduka, Tuhan kasihan kepada kami sehingga tidak mungkin memberi
kami dua bencana sekaligus. Apa yang kamu maksud dua bencana ? Tanya si
penguasa itu penasaran, yaa wabah penyakit dan anda sendiri, jawabnya lirih. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar