Ust. Hefni Zain
Pendahuluan
Sudah menjadi watak
atau bahkan fitrah dari setiap manusia untuk mencita-citakan kehidupan yang
aman, tentram, harmoni, dan damai. Dengan kedamaian, diharapkan tercipta
dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama,
tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak lain. Oleh karena
itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya
sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan (khalifah
fi al-ardl) untuk memakmurkan dunia ini.
Salah satu tantangan berat
bagi agama-agama dewasa ini, adalah mewujudkan perdamaian dunia, karena masih
banyaknya peristiwa-peristiwa konflik, kekerasan dan intimidasi yang melanda
dunia global. Lihat saja konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel,
konflik di berbagai negara di benua afrika, isu-isu terorisme, dan masih banyak
yang lainnya. Deretan permasalahan global yang ada itu harus dijawab oleh
agama-agama dunia sebagai upaya menjadikan umat manusia lebih humanis dan
dialektis dalam menghadapi persoalan global.
Oleh karena itu, Paus
Yohanes pada Konsili Vatikan II pernah menggagas adanya dialog perdamaian dalam
skala yang lebih luas. Dialog yang menentukan arah terwujudnya dialog antar
agama-agama dunia. Kemudian usaha dialog antar agama ini dilanjutkan oleh Cardinal
Montini (Paus Paulus VI) pada masanya dan tercetuslah kelima teks penting yang
terdiri: Light of The Nations, In Our Time, On
Divine Revelation, Joy and Hope to The Nations dan Dignity
of The Human Person. Sebagian teks-teks itu berisi tentang hubungan Kristen
dengan agama lain, khususnya Islam[1]
Kecuali itu, pada tahun
1893 di Chicago, Parlemen Agama-Agama Dunia tampil membawa semangat perdamaian
untuk dunia. Parlemen ini lahir sebagai respon atas paradigm modernitas yang
telah menjadikan agama sebagai realitas parsial. Respon tersebut lahir setelah
melihat adanya krisis global yang mendunia. Mulai dari krisis ekologi, seperti
pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan musibah bencana alam, hingga krisis
sosial-politik, seperti kekerasan dan perang, konflik antar agama dan etnik,
dan sebagainya. Baru 100 tahun sesudahnya, yakni pada 28 Agustus sampai 4
September 1993 parlemen tersebut bekerja sama dan menyusun sebuah “Deklarasi
Menuju Etika Global” dengan dihadiri tidak kurang dari 6500 orang dari tiap
agama.
Adapun salah satu isi
kandungan yang tertuang dalam naskah Deklarasi Menuju Etika Global yang
berbicara mengenai perdamaian dan nirkekerasan diantaranya adalah: “But in
the great ancient religious and ethical traditions of humankind, we find the teaching:
You shall not kill! Or in positive terms: Have respect for life! Concretely
that means that no one has the right to torture, injure, and certainly not to
kill, any other human being……” serta: “…….every peoples, every race,
every religion must show tolerance, respect, indeed, high appreciation for
every other. Minorities whether they are racial, ethnic or religious- need our
protection and our support” [2]. Dari sinilah, agama-agama dunia memberikan kontribusi
aktif dalam usaha mengurai dan mencari jalan solusi bagi problematika dunia
global. Nilai-nilai universal dari masing-masing agama dunia dijadikan
konsensus bersama untuk mewujudkan etika global. Etika yang diharapkan menjadi
solusi bagi permasalahan dunia global, terutama untuk mewujudkan perdamaian di
antara umat manusia dan umat beragama.
Unisco dalam Declaration of a Culture of
Peace menyebutkan bahwa budaya damai merupakan sikap, tindakan, tradisi,
dan model perilaku dan cara hidup yang didasarkan pada: (1) Menghargai
kehidupan, mengakhiri kekerasan dan mengedepankan sikap nirkekerasan melalui
dialog dan kerjasama.(2) Penghargaan penuh terhadap prinsip-prinsip kedaulatan,
dan kemerdekaan sesuai hukum internasional. (3) Penghargaan penuh terhadap hak
asasi manusia (4) Komitmen terhadap penyelesaian konflik secara damai.(5) Upaya
untuk menemukan kebutuhan pembangunan dan lingkungan tidak hanya saat ini
tetapi juga untuk generasi yang akan datang.(6) Menghargai kesederajatan.(7)
Mengedepankan kesamaan dan kesetaraan hak dan kesempatan bagi laki-laki dan
perempuan. (8) Menghargai dan mengedepankan hak-hak setiap orang untuk merdeka
berekspresi, berpendapat dan mendapatkan informasi.(9) Mengikuti
prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi, solidaritas,
kerjasama, penghargaan terhadap kemajemukan, perbedaan agama dan budaya, dialog
dan pengertian pada setiap tingkatan masyarakat dan bangsa[3]
Banyak kalangan
memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa konflik. Pemahaman seperti ini
merupakan contoh dari definisi perdamaian negatif, yakni situasi absennya
berbagai bentuk konflik dan kekerasan lainnya. Tetapi ada pula definisi
perdamaian positif (positive peace) yakni absennya kekerasan struktural
atau terciptanya keadilan sosial serta terbentuknya suasana harmoni. Hal itu
senada dengan adagium “jika engkau menghendaki perdamaian, siapkanlah suasana
damai sejati dengan cara-cara yang lebih manusiawi”. Berdasarkan konsep
ini, usaha untuk mewujudkan perdamaian tidak hanya untuk mengurangi tindak
kekerasan saja, akan tetapi juga adanya ikhtiar untuk mewujudkan rasa tentram,
harmoni, dan damai dalam realita kehidupan sosial.
Selain dorongan
intrinsik dalam diri manusia, nilai-nilai perdamaian juga dapat ditemukan dan
diinspirasi dalam pandangan-pandangan keagamaan dan kebijaksanaan masyarakat (local
wisdom). Islam, misalnya, adalah agama yang memproklamirkan diri sebagai
agama perdamaian, setidaknya ada tiga alasan yang dijadikan hujjah : pertama,
Islam itu sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan dan
perdamaian (peace). Kedua, salah satu dari nama Tuhan
dalam al-asma` al-husna adalah yang Maha damai (al-salam).
Ketiga, perdamaian dan kasih-sayang merupakan keteladanan yang
dipraktikkan oleh Rasululloh saw seperti piagam madinah (al-sahifah
al-madinah), perjanjian hudaibiyah, dan pakta perjanjian yang lain, Bagi
islam perdamaian merupakan jantung dan denyut nadi dari agama, menolak
perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai menolak esensi agama
dan kemanusiaan.[4]
Membangun Masyarakat Damai
Untuk menciptakan perdamaian dunia, diperlukan
beberapa aspek pendukung, diantaranya : Pertama, pengakuan dan basis keseteraan
(recognition
and basis of equality). Kesetaraan menjadi suatu pondasi dasar
untuk dapat menciptakan perdamaian. Kedua, mutual
respect. Menghargai keyakinan, agama, dan tradisi yang berbeda juga
menjadi elemen penting yang dapat menumbuhkan perdamaian dunia. Menghargai
bukan selalu menyetujui dan mengikuti keyakinan lain, namun menghargai
merupakan kemauan dari setiap pihak untuk untuk mendengarkan yang lain dan
menerima secara konstruktif terhadap ide dan kritik. Ketiga, dialog yang jujur
yang dilandasi semangat mencari titik temu. Dialogue
likewise makes it possible for both parties to identify common ground in their
civilizations, cultures, and histories that may be utilized for the interests
of both .
Keempat, toleransi. Dialog yang tercipta tidak akan berhasil jika tidak ada
toleransi di antara agama dan pemeluk keyakinan. Kelima, joint cooperation. Dari kelima poin
tersebut, pada gilirannya berujung pada terwujudnya kerjasama semua pihak untuk
mewujudkan perdamaian dunia.
Sesuai misinya, agama-agama seharusnya
ditampilkan sebagai sarana perdamaian dan penyebar kasih sayang, bukan malah
menjadi alat kekerasan dan pertikaian. Gerakan keagamaan pada masa-masa awal
yang dipraktekkan oleh para Rasul pembawanya adalah gerakan pencerahan dan
pembebasan manusia dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan
dalam segala aspeknya, Nabi Muhammad saw misalnya, dalam berdakwah untuk
pencerahan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang
normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara
serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan meyusun
kembali tatatan yang ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif. Hal tersebut
mempunyai makna bahwa semua agama secara teologis memberikan penghargaan
terhadap manusia secara sejajar, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan
keadilan, serta mengasihi yang lemah dan tertindas.
Perdamaian dunia, tentu meniscayakan beberapa kesadaran dan sikap potitif,
seperti sikap saling mengakui, menghormati, berdialog dan menciptakan suasana
harmonis diantara sesama makhluk Tuhan di muka bumi. Dari kesadaran saling mengakui dan memahami pada
gilirannya beranjak pada sikap saling menghormati dan menghargai yang pada
akhirnya meningkat pada sikap saling mempercayai. Sikap saling mempercayai
merupakan hal penting bagi terbangunnya kehidupan yang damai, bahkan syarat
utama untuk menciptakan perdamaian di dunia adalah kepercayaan yang didasari
dengan rasa saling mengerti satu sama lain. Karena itu sangat penting untuk
bisa memahami ajaran agamanya sendiri, dan juga memahami agama orang lain.
Banyak orang hanya dekat dengan mereka
yang sefaham dan seringkali menghindari orang yang tidak tidak sefaham,
padahal dari yang
tidak sefaham itulah seseorang akan mengenal sudut pandang yang baru.
Demikian juga dengan
budaya dialog, diharapkan kesalah pahaman yang terjadi selama ini akan dapat
teratasi. Dialog tersebut dimaksudkan untuk lebih saling mengenal dan saling
menimba pengetahuan baru tentang agama-agama mitra dialog. Dengan dialog, para
penganut agama dapat memperkaya wawasan dalam rangka mencari
persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan kerukunan dan hidup damai dalam
suatu masyarakat. Disini para penganut agama-agama dapat meningkatkan
toleransi dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling
mengalami. Pada tingkat paling tinggi, mereka menikmati kehadiran orang lain
dengan lapang dada,” Tentu saja dalam prinsip musyawarah yang
dibesar-besarkan bukan sisi perbedaannya, tetapi sisi persamaannya.
Sebuah contoh nyata dari keberhasilan dialog
antar keyakinan adalah yang diselenggarakan umat Muslim di Amerika Serikat
untuk meluruskan kesalah pahaman dan stigma nigatif terhadap Islam pasca
tragedi WTC 9 Nopember. Hasilnya cukup menggembirakan, saat itu umat Islam
berhasil meyakinkan peserta dialog bahwa tidak ada satupun agama di dunia ini yang
mengajarkan keburukan, karena itu setiap bentuk ketidak baikan yang terjadi di
ranah riil kemanusiaan atas nama agama, dapat dipastikan adalah prilaku oknum
pengikut agama yang telah salah faham terhadap agama atau menggunakan faham
yang salah dalam memotret agama yang bersangkutan.
Munculnya
berbagai ketidak puasan terhadap prilaku umat beragama, karena di ranah empirik
telah dianggap mencederai nilai-nilai luhur kemanusiaan, sesungguhnya bukan
konsederasi yang tepat atau hujjah yang kuat untuk melakukan generalisasi atau
menimpakan kesalahan itu pada diri agama. Harus dibedakan antara
ajaran agama yang semestinya dengan ajaran yang telah dipraktekkan pemeluknya
berdasarkan tafsir kepentingan.
Islam dan agama-agama lain tidak ada yang
mengajarkan apalagi menganjurkan
kekerasan atau terorisme seperti anggapan mayoritas penduduk AS selama
ini. Melalui dialog antar keyakinan ini menjadi pembuktian dari masyarakat
Muslim bahwa Islam justru mengajarkan perdamaian dengan mengudang tokoh-tokoh
agama lain untuk membicarakan mengenai keyakinan masing-masing. Dialog antar
keyakinan merupakan salah satu cara efektif untuk menyatukan
perbedaan-perbedaan yang ada. Dialog menjadi suatu bentuk komunikasi dimana
masing-masing pihak dapat menyuarakan pendapat dan mendengar pendapat dari
pihak lain. Dialog dapat menjadi cara dan sarana untuk mengkolaborasikan
nilai-nilai positif yang ada di setiap keyakinan hingga akhirnya dapat tercipta
perdamaian dunia.
Dalam membangun perdamaian musti dikedepankan cara-cara persuasif
yang saling menguntungkan sebagai konsekwensi dari hidup dalam sebuah
masyarakat dialog. Kita tidak lagi hidup dalam zaman kapak yang menempatkan kekerasan
sebagai jalan keluar dari perbedaan yang ada tetapi dengan dialog. Jika
kekerasan yang menjadi alat penyelesaian masalah, maka konflik akan terus
terjadi karena sampai kapanpun kita akan bertemu dengan perbedaan. Dalam Al-Quran
dengan jelas disebutkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia untuk saling
menyakiti, apalagi membunuh. Perbedaan ras, suku, dan bangsa dimaksudkan Allah
Swt agar saling mengenal, bukan membenci dan bermusuhan (Qs. al-Hujurat:13).
Oleh karena itu, umat Islam di manapun mereka berada harus berusaha mewujudkan
perdamaian dan membangun semangat keislaman yang moderat dan tidak ashobiyah
yang hanya mementingkan kelompoknya agar menjadi pionir dalam
mengampanyekan kedamaian dan perdamaian. Kometmen Islam Mewujudkan Perdamaian
Perdamaian merupakan
ajaran yang prinsip dan mendasar dalam Islam, untuk menunjukkan kometmennya
terhadap perdamaian sampai-sampai Islam disematkan sebagai nama agama ini.
Seperti difahami kata Islam berarti keselamatan, rasa aman dan perdamaian. Kata
ini disebut sampai 140 kali dalam Al-Qur’an, sebuah jumlah yang sangat
signifikan untuk menegaskan bahwa Islam betul-betul serius memberikan
keselamatan, rasa aman dan kedamaian tidak saja bagi seluruh umat manusia,
bahkan bagi semesta alam. Dan hal ini tidak saja berputar pada tataran
konsepsional, tetapi telah dipraktekkan secara nyata oleh Rasululloh saw
beserta para sahabat.
Perdamaian merupakan
hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Dalam suasana aman dan damai,
manusia akan hidup dengan tenang sehingga dapat melaksanakan berbagai
kewajibannya dengan baik tampa intimidasi. Bahkan
kondisi damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik
ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan.
Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh Allah swt ke muka bumi dengan
perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam, (Qs. al-Anbiyâ’ : 21:107).
Misi utama kehadiran Islam adalah untuk mewujudkan
perdamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan nama agama ini
: yaitu al-Islām yang secara leksikal menurut Al-Ghazāli bukan
nama dari agama tertentu, melainkan nama dari persekutuan agama yang dibawa
oleh Nabi-Nabi dan dinisbatkan kepada seluruh pengikut mereka. Dalam Islam,
perdamaian diistilahkan dengan al-aman yang maknanya sepadan
dengan al-salam yaitu peace (perdamaian). Itulah misi
dan tujuan diturunkannya Islam pada umat manusia. Karena itu, Islam diturunkan
tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara
umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan, bagaimana
sikap tasāmuh (toleran) dan kasih sayang kaum muslimin
terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl
al-Kitab maupun kaum musyrik, bahkan terhadap seluruh
makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan dan kedamaian.
Diantara bukti dari fokus Islam terhadap perdamaian
adalah selain secara normatif telah didasari oleh teks-teks suci misalnya, Qs. Yaasin,
58 “Salamun, qaulan min rabbir ar rahim”(Kepada mereka dikatakan) :
“Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang”, Dan Qs. al-Maaidah,
32 “Dan jika seseorang menyelamatkan satu jiwa, ini seolah-olah ia telah
menyelamatkan jiwa seluruh umat”, Juga secara operasional adalah dengan
dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah) yang menjadi
instrumen penting bagi perintisan peace building
community yang berorientasi pada
perdamaian dan kebersamaan serta mengusung konsep aplikasi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan kebebasan
kepada masyarakat, yang oleh kebanyakan pakar sejarah disebut sebagai
konstitusi negara pertama yang belum
pernah terjadi sebelumnya pada peradaban dan negara manapun, terlebih di
kawasan Arab.
Pola perilaku Nabi saw yang dibentuk oleh nilai inti
kepemaafan merupakan suatu manifestasi ajaran-ajaran wahyu Tuhan. Ditetapkan
dalam al-Qur’an bahwa memaafkan merupakan kewajiban kaum Muslimin, bahkan
ketika mereka marah. Al-Qur’an juga secara
jelas menegaskan : Balasan untuk suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa
dengannya Tetapi jika seseorang memberi maaf dan melakukan rekonsiliasi, balasannya
adalah dari Tuhan : karena (Tuhan) tidak menyukai orang yang melakukan
kezaliman. Menurut ayat ini, pemberian maaf dan rekonsiliasi adalah tindakan terpuji,
karena memaafkan merupakan suatu nilai yang secara jelas dianjurkan di dalam
al-Qur’an,. Memaafkan merupakan obat penawar terhadap tindakan-tindakan masa
lalu yang tidak dapat diubah. Sebagai suatu proses antara dua kelompok yang
bertikai, memaafkan menjadi suatu tindakan saling membebaskan bagi yang memberi
maaf dan yang dimaafkan. Maaf membantu mengubah hubungan-hubungan sosial,
sehingga perdamaian dan tindakan nirkekerasan menjadi mungkin di masa depan.
Nilai-nilai perdamaian Islam, yaitu kesabaran,
penghormatan dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan, berbagi bersama,
kreativitas dan tindakan memaafkan yang diidentifikasi dari kehidupan Nabi
saw adalah kondusif bagi upaya-upaya penciptaan perdamaian dan menghindari
tindak kekerasan baik dilingkungan dalam (intern) umat beragama maupun
lingkungan luar (ekstern) umat beragama. Nilai-nilai itulah yang perlu terus
menerus dikembangkan sebagai manefestasi dari rahmatan lil ‘alamin
yang berlaku untuk semua etnis, bangsa, ras, kulit dan agama, tanpa syarat
apapun. Kometmen ini harus tetap dijaga dan dilestarikan walaupun dengan teknis
yang berbeda sesuai zamannya, tetapi paradigma penciptaan perdamaian yang
terdiri dari empat nilai penting diatas tetap harus menjadi ikon yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk
oleh hujan.
Umat
Islam harus terus membangun kesadaran mendalam terhadap kemestian
interdependensi manusia menuju peace building community, hanya dengan
itulah progres peradaban dapat dipacu perkembangannya. Umat beragama harus mempelopori gerakan kultural
“baru” dalam era globalisasi saat sekarang ini untuk mempromosikan kembali
nilai-nilai inti Islam sebagai pendukung pilar-pilar perdamaian dan
mendahulukan tindakan anti kekerasan dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
beragama dan dalam pergaulan internasional. Umat beragama hendaknya berperan
aktif menyemaikan nilai-nilai inti keislaman untuk perdamaian dunia dengan
metode dan pendekatan yang baru, aktual, dan segar.
Umat Islam harus terus menyuarakan
pentingnya kehidupan yang memihak pada ideology co-existence yakni hidup
berdampingan secara damai dengan saling bekerjasama (co-operation),
saling merengkuh (inclusive), mengutamakan nilai-nilai yang dipegang
teguh oleh umat manusia secara universal, supel dalam pergaulan sosial
-keagamaan, merasa saling bergantung secara timbal balik dengan pihak dan
kelompok lain (reciprocity), selalu mencari modus-modus baru untuk
keluar dari akar-akar konflik yang laten secara kreatif, memilih upaya yang
bersifat transformatif, mengedepankan skenario sama-sama menang (win-win
solution) dalam pemecahan masalah, dan dengan cermat dan cerdas melihat fenomena
kemanusiaan secara semitris-sederajat.
Gerakan Islam untuk
menyebarluaskan perdamaian dan semangat keagamaan yang anti kekerasan perlu
terus menerus ditiup dan hembuskan oleh para aktivis keagamaan. Salah satu
basis roh nilai-nilai fundamental yang memihak kepada upaya perdamaian dan anti
kekerasan yang harus mengilhami gerakan pembaharuan dan pengembangan pemikiran
Islam orisinil di era globalisasi tanpa kehilangan basis identitas sosiologis
keislaman umat.
Etika Perdamaian Islam Di Kencah Global
Etika merupakan hal
fundamental dalam menjalankan segala aktifitas manusia, dalam khazanah
pemikiran Islam etika biasa dimasukkan dalam apa yang disebut sebagai filsafat
praktis (al-hikmah al-‘amaliyah). Filsafat praktis itu sendiri berbicara
tentang tentang segala sesuatu “sebagaimana seharusnya”. Meskipun demikian,
etika mesti didasarkan pada filsafat teoritis (al-hikmah al-nazariyah),
yakni pembahasan tentang segala sesuatu “sebagaimana adanya”.[7]
Etika terkadang
diidentikkan dengan moral (atau moralitas) dalam hal-hal yang terkait dengan
baik-buruk perilaku manusia. Namun, keduanya memiliki perbedaan pengertian.
Menurut Franz Magnis-Suseno, etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran
moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan
sebuah ajaran. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Jadi, dapat
dikatakan bahwa etika bisa disebut juga sebagai Filsafat Moral. Yakni etika
berfungsi sebagai teori atau nalar filosofis dari perilaku baik dan buruk (‘ilm
al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah praktiknya. Oleh karena itu,
persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat
dipertanyakan kembali secara kritis dan mendalam.
Dalam tradisi filsafat
etika, terutama yang berkembang di Barat, banyak muncul beragam pandangan
mengenai etika yang berkembang di belahan dunia ini. Namun, menurut Haidar
Bagir secara umum pandangan-pandangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi
tiga: etika hedonistik, utilitarian, dan deontologis. Hedonisme mengarahkan
etika kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenangan bagi
manusia. Etika utilitaristik mengoreksinya dengan menambahkan bahwa kesenangan
atau kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu etika yang baik adalah kebahagiaan
bagi sebanyak mungkin orang, dan bukan kesenangan atau kebahagiaan individual-
yang di sisi lain, mungkin justru menimpakan kesengsaraan bagi jauh lebih
banyak orang. Sementara etika deontologis (berasal dari kata deon yang
berarti kewajiban) memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa
kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat
fitri dan, pada saat yang sama, tidak (murni) rasional.
Disamping itu, menurut
Komaruddin Hidayat, etika sebagai cabang pemikiran filsafat bisa dibedakan
menjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Objektivisme berpandangan bahwa
nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektif, terletak pada substansi
tindakan itu sendiri. Paham ini melahirkan apa yang disebut dengan paham
rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan dikatakan baik bukan karena kita
senang melakukannya atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan
semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat
begitu. Sedangkan subjektivisme berpandangan bahwa suatu tindakan disebut
baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek
di sini bisa saja berupa subjektivisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa
saja subjek Tuhan.
Lebih lanjut, Haidar Bagir menyatakan bahwa
etika dalam filsafat Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama,
Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya, semua
manusia pada hakikatnya, baik itu Muslim ataupun bukan, memiliki pengetahuan
fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam
didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya.
Tanpa merelatifkan etika itu sendiri, nilai suatu perbuatan diyakini bersifat
relatif terhadap konteks dan tujuan perbuatan itu sendiri. Ketiga,
tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan
kebahagiaan bagi pelakunya.Keempat, tindakan etis itu bersifat rasional.
Sementara itu, menurut
Abdul Fattah Abdullah Barakah, sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Hanafi
dkk, menyatakan bahwa penentuan baik dan buruk di dalam Islam berdasarkan etika
subjektif dan etika objektif sekaligus. Artinya, penentuan baik dan buruk
didasarkan pada wahyu Tuhan (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan, pada waktu yang
sama, akal budi manusia pun memiliki kapasitas untuk mengetahui baik-buruk
serta membedakannya. Zina, misalnya, adalah perbuatan buruk, karena Allah
menyatakan dalam al-Qur’an bahwa zina itu perbuatan keji (al-Isra`/17: 32).
Namun, pada waktu yang sama, baik sesudah maupun sebelum al-Qur’an diturunkan,
akal budi manusia pun mengakui bahwa zina adalah perbuatan keji. Dengan
demikian, etika Islam pada hakikatnya bersifat teoantroposentris. Harmonisasi
nilai-nilai etis yang bersumber dari wahyu Tuhan sebagai titik tolak bergerak
(keimanan) dengan nilai-nilai yang berasal dari akal budi manusia yang tujuan
akhirnya adalah kesejahteraan dan kebahagiaan untuk semua makhluk hidup.
Setelah memahami secara
garis besar etika Islam, maka sepatutnya menjadikan etika Islam sebagai prinsip
universal dalam kehidupan sosial yang beragam sebagaimana Tuhan mengisyaratkan
hal ini. Dengan menempatkan etika sebagai prinsip universal, maka secara
perlahan-lahan akan ditemukan titik temu atau kalimatun sawa` dari
agama-agama, yang merupakan etika universal yang secara esensial mengajarkan
kebaikan, kasih sayang, kejujuran, keadilan, kedamaian, serta pembebasan
terhadap diskriminasi dan kezaliman. Perbedaan agama sekarang bukan lagi menjadi
penghalang bagi seseorang untuk mempraktekkan nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian, apapun
nama agamanya, semua menyatakan bahwa perdamaian dan kasih-sayang merupakan
bagian dari etika universal. Etika yang tetap perlu dipraktekkan dalam
kehidupan sosial guna mencapai tatanan kehidupan yang lebih baik dan
tujuan-tujuan dalam beragama menjadi manusiawi dan realistis.
Dalam perspektif
sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam
perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai
individu maupun kelompok. Sehingga sikap perilaku yang diperankannya akan
terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku
individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam, yang didasarkan pada
nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Pada era global ini,
perdamaian agama-agama di dunia mutlak diperlukan. Maka dengan adanya dialog
antarumat beragama, diharapkan akan menemukan kesamaan visi untuk menatap masa
depan umat beragama yang toleran, harmoni, dan damai. Menurut Abdul Qadir
Shaleh, dialog global antaragama bekerja dalam tiga wilayah: pertama,
wilayah praksis di mana kita berkolaborasi untuk menolong kemanusiaan. Kedua,
wilayah batin atau spiritual di mana kita berupaya mengalami partner dialog
dari dalam (dialogue from within). Ketiga, wilayah kognitif
di mana kita mencari pemahaman dan kebenaran. Dari wilayah dialog tersebut,
maka paling tidak praktek kekerasan dapat dikurangi. Karena dengan adanya
kesadaran bahwa agama lain adalah suatu agama juga yang membutuhkan eksistensi
secara humanis, maka proses kea rah perdamaian akan mudah tercapai.
Ada serangkaian
ungkapan yang sangat popular yang diungkapkan oleh Hans Kung, seorang tokoh
yang berjasa dalam pertemuan Parlemen Agama-Agama Dunia itu, sebagaimana
dikutip oleh Abdul Qadir Shaleh, yang menyatakan bahwa: “No peace among the
nations without peace among the religions; No peace among the religions without
dialogue between the religions; No dialogue between the religions without
research into theological foundations” Dengan demikian, pada
tataran ontologis, agama manapun pada hakikatnya tidak mengajarkan kekerasan,
dan kekerasan itu sendiri bukan bagian integral dari agama. Agama mengajarkan
sikap cinta-kasih dan keharmonisan dalam hidup. Agama memprioritaskan
cara-cara damai dan kemanusiaan dalam bersikap sebagaimana diamanatkan oleh
nilai-nilai universal agama itu sendiri. Islam, misalnya, merupakan penegasian
atas sikap kekerasan. Islam, di satu sisi, berarti kepatuhan/ketundukan diri (submission)
kepada kehendak Tuhan dan pada sisi lain, mewujudkan perdamaian.
Dengan demikian, Islam
berarti menciptakan perdamaian sedangkan Muslim berarti orang yang menciptakan
perdamaian melalui aksi dan perbuatannya. Begitu pula keimanan yang merupakan
wujud dari sebuah keyakinan pada Tuhan yang nantinya juga akan berdampak secara
sosial berupa pemberian rasa aman dan nyaman bagi orang lain. Bukankah
Rasulullah SAW pernah berkata: “muslim sejati ialah muslim yang
dapat memberikan keselamatan bagi orang lain dari lisan dan tangannya, dan
mukmin sejati ialah mukmin yang bisa memberi rasa aman pada yang lain atas jiwa
dan harta mereka”.
Nilai-nilai Islam untuk menciptakan perdamaian
Nilai-nilai perdamaian
pada hakikatnya banyak termaktub dalam al-Qur’an dan juga secara jelas
diindikasikan dalam berbagai riwayat Hadis Nabi. Tidak ada satu ayat pun dalam
al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian,
permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negative dan represif
yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Al-Qur’an
menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih
sayang: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya: 10).
Zuhairi Misrawi
menyatakan bahwa ada dua hal yang perlu diketahui dari ayat tersebut. Pertama,
makna rahmatan. Secara linguistik, rahmatun berarti
kelembutan dan kepedulian (al-riqqah wa al-ta’aththuf).Kedua,
makna lil’alamin. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat
ini. Ada yang berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw. hanya untuk orang
muslim saja. Tapi ulama lain berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw untuk
semua umat manusia. Hal ini mengacu pada ayat terdahulu yang menyatakan bahwa
Rasulullah saw diutus untuk seluruh umat manusia (kaffatan li an-nas). Sebuah
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula bahwa “sesungguhnya
saya tidak diutus sebagai pemberi laknat, tapi saya diutus untuk member rahmat”.
Lebih lanjut, Jaudat
Sa’id menyatakan bahwa prinsip-prinsip nirkekerasan dan perdamaian serta
hubungannya dengan ajaran Islam telah mengakar lama sejak zaman putra Adam,
Qabil dan Habil. Al-Qur’an merekam kisah Qabil dan Habil sebagaimana beriktu:
“Ceritakanlah kepada mereka
kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya,
ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari
mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata
(Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa”. Sungguh kalau kamu menggerakkan
tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan
seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa)
dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka,
dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa
nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu
dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?”
karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (Qs. al-Ma`idah: 27-31)
Menurut Jawdat Sa’id,
kisah Qabil dan Habil itu memberi makna yang dalam.Pertama, ada aspek
kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban
dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran.Ketiga,
teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Habil sebagai simbol kebaikan dan
kesalehan, menolak mengotori tangannya dengan darah. Sementara Qabil mewakili
kekerasan, kebuasan serta ringan tangan untuk membunuh atas dalih apa saja. Disamping bersumber dari nilai-nilai Qur’ani,
diskursus mengenai perdamaian juga banyak ditemukan dalam Sunnah Nabawiyah. Ada
sekitar dua puluh ribu Hadis Nabi dan diantaranya Hadis yang mendukung etika
anti-kekerasan atau etika perdamaian. Hadis-Hadis ini mempunyai signifikansi
ganda untuk mengkaji tradisi perdamaian dalam Islam. Pertama,
menawarkan fakta-fakta tambahan tentang anti-kekerasan dalam budaya
Islam; Kedua, mencakup penjelasan yang lebih menarik tentang
berbagai tradisi Islam sebagaimana disampaikan melalui al-Qur’an.
Mohammed Abu-Nimer juga
menambahkan bahwa Hadis merupakan sumber yang kaya untuk nilai-nilai bina-damai
dan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Muslim, ia hanya akan mengarah
pada perdamaian dan nirkekersan. Misalnya Hadis-Hadis berikut ini: (1) “pelan-pelan
wahai Aisyah, karena Allah selalu menyukai kelembutan dalam segala
hal” (H.R. al-Bukhari & Muslim (2) “Allah akan
menunjukkan belas kasih-Nya kepada mereka yang bermurah hati. Bermurah hatilah
kepada penduduk bumi, maka penguasa surga akan bermurah hati kepadamu”
(H.R. al-Turmudzi) (3) “Allah mencintai
kelembutan, Allah memberikan keberkahan atas kelembutan, dan bukan atas
kekerasan” (H.R. Muslim), Dan masih banyak
riwayat Hadis yang lain.
Fakta lain yang
merupakan arti kunci bagi terwujudnya tradisi damai dan nirkekerasan adalah
mengikuti dan mensuri-tauladani apa yang Rasulullah saw lakukan. Al-Qur’an
merekomendasikan Nabi Muhammad kepada kita sebagai suri-tauladan yang baik
(Q.S. Al-Ahzab: 21), dan memerintahkannya (Nabi) untuk berkata kepada
umatnya: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Q.S. `Ali ‘Imran: 31.
Sehingga konsekuensinya sebagaimana yang ditulis oleh Schimmel: Dalam perang
dan damai, di rumah dan di dunia (luar), dalam bidang keagamaan seperti dalam
setiap bentuk pekerjaan dan tindakan/amalan, Nabi Muhammad saw merupakan contoh
teladan dari kesempurnaan moral (akhlak). Apa saja yang beliau lakukan
menyisakan/memberikan contoh bagi para sahabatnya. Karena hal itu tidak dapat dipisahkan dari sikap dan
perilaku Nabi Muhammad
saw dalam menyebarkan
Islam pada masanya. Nabi saw melakukan dakwah dengan cara-cara yang damai serta
penuh dengan cinta-kasih. Jadi fakta historis ini mempunyai signifikansi ganda
untuk mengkaji etika perdamaian dalam tradisi Islam awal.
Berangkat dari
keyakinan ini, perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Islam
yang artinya mengandung makna salam (kedamaian /keselamatan) mengajak untuk
selalu bersikap harmonis dalam berinteraksi dengan sesama. Perdamaian bukanlah
semata-mata ketiadaan perang atau kekerasan. Damai yang sejati adalah damai
yang termanifestasi melalui nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai
keadilan sosial. Maulana Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian secara
umum adalah antithesis dari ketiadaan perang. Namun, definisi ini hanya dalam
lingkup yang kecil. Perdamaian sejati adalah perdamaian yang berhubungan dengan
segala urusan kehidupan manusia. perdamaian merupakan ideologi yang komplek.
Ideologi yang menjadi pintu utama menuju kesuksesan dalam hidup.
Namun, bagaimana dengan
konsep jihad dalam Islam yang pada umumnya disalahpahami sebagai bentuk negasi
dari nilai-nilai perdamaian. Kata jihad tidak berarti perang suci. Jihad
berarti perjuangan (kerja keras) atau usaha. Berdasar pada sebuah Hadis Masyhur
dari Nabi Muhammad saw, bahwa jihad secara tradisi dibagi ke dalam al-Jihad
al-Akbar (perjuangan besar), sebuah usaha batin dalam menghadapi sifat
dasar kita yang lebih rendah (nafsu); dan al-Jihad al-Ashgar(perjuangan
kecil), sebuah usaha lahir dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Perjuangan
kecil ini bukanlah dalam semua hal, namun hanya beberapa. al-Jihad
al-Ashgar memasukkan pula pencarian aktif akan sebuah budaya damai,
maupun perlawanan terhadap penindasan. Nabi saw mengajarkan kepada kita bahwa
penegakan keadilan mengharuskan adanya aktifitas yang terus menerus. Nama dari
aktifitas ini adalah jihad. Pekerjaan dari anti-kekerasan merupakan akar
terakhir/pangkal dari jihad.
Lebih lanjut, Jaudat
Sa’id memiliki pemaknaan lain dari makna jihad. Ia menegaskan bahwa ada dua
bentuk jihad dalam hal ini yakni Jihad Khawarij dan Jihad Islam. Jihad Khawarij
adalah jihad yang berdasarkan pada pemahaman mereka saja dan mencoba
mempraktekkannya menurut kadar pemahaman mereka. Pemahaman jihad seperti ini
menimbulkan sikap fundamentalisme, radikalisme, atau ekstrimisme yang identik
dengan kekerasan dan paksaan. Sedangkan Jihad Islam merupakan perjuangan untuk
mencegah pemaksaan dan kekerasan dalam agama atau pemikiran tertentu. Oleh
karena itu, jihad dalam konteks perang adalah wujud dari pembelaan atas tidak
adanya pemaksaan dalam agama. Sehingga perang diijinkan adalah untuk memerangi
mereka-mereka yang memaksakan agama untuk orang lain. Bagi Jawdat Sa’id, fitnah
dalam agama, sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah: 193, adalah memaksa orang untuk
memeluk agama tertentu atau menyiksa orang untuk meninggalkan agama tertentu
atau bahkan hingga membunuhnya. Dengan demikian, Jihad Islam adalah berjuang
dengan menggunakan segenap kekuatan untuk mencegah pemaksaan dalam agama
meskipun pemaksaan itu tidak melalui perang atau kekerasan.
Catatan Penutup
Pesan-pesan perdamaian
yang ada dalam Islam tidak hanya berupa nilai-nilai normatif belaka. Fakta
sejarah telah membuktikan adanya usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut
dalam tataran realita. Piagam Madinah, misalnya, merupakan contoh konkrit upaya
Nabi saw mewujudkan perdamaian. Tujuan utama dari Piagam yang berjumlah 47
pasal itu, pada hakekatnya, adalah mewujudkan prinsip perdamaian serta
mengembalikan keharmonisan pada masyarakat Madinah pada masa itu. Secara
eksplisit, ketetapan prinsip ini juga terekam dalam beberapa pasal dalam Piagam
itu. Antara lain pada pasal 17 yang menyatakan bahwa seluruh umat Islam harus
bersatu dan mengambil peran yang sama bila mengadakan perdamaian dengan pihak
lain. Di samping itu, pada pasal 45 juga dinyatakan bahwa agar orang-orang
mukmin aktif dan gemar dalam menerima serta memprakarsai perdamaian. Akhirnya, mengutip apa
yang dikatakan oleh al-Khattabi,: “God is the Being from Whom all people feel
safe and secure. From whom people have the experience only of peace, not of
violence”, Tuhan ada dari siapa saja yang merasa selamat dan aman. Dari siapa
saja yang hanya memiliki jiwa damai, bukan dari kekerasan.
Islam yang rahmatan
lil’alamin merupakan perwujudan dari nilai-nilai universal yang
terkandung dalam pokok ajaran Islam. Nilai yang mengedepankan keharmonisan,
kedamaian, dan kemaslahatan bagi semua. Sehingga nilai-nilai itulah yang
seharusnya diambil, dipahami, dan kemudian berusaha dipraktekkan oleh umat
manusia pada umumnya. Perdamaian harus menjadi kekuatan penuh untuk membangun
peradaban manusia, terutama di era globalisasi ini. Perdamaian merupakan
warisan tradisi yang sangat penting, menarik, dan patut dicontoh. Sebab dalam
tradisi perdamaian yang ada adalah kebahagiaan, keharmonisan, serta kenangan
yang manis dan indah antara pelbagai masyarakat dan agama-agama “.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar