Minggu, 17 Agustus 2014

REFLEKSI KEMERDEKAAN ; BUKAN PESTA KEMENANGAN



Ust. Hefni Zain

 Ketika memeriksa bacaan putra putri kita dirumah atau melihat judul buku yang mereka hafal, kita kadang terkejut, karena yang mereka gemari bukannya kisah tentang perjuangan pangeran Diponegoro, Imam bonjol, jendral Sudirman, Bung Tomo atau Ra Kartini, melainkan sederet buku tentang kisah petualangan Cinderella karya Cristian Anderson, Asterix karangan Goscinny atau Lucky Luke  karya Morris X Fauchei.
Kisah kepahlawanan, semangat perjuangan dan pengorbangan tokoh-tokoh nasional telah tergeser oleh ketenaran Alice Cooper, Mc Hammer,  David Hewson, dan sejenisnya. Dan kalau masih ada yang berbau nasional, paling-paling hanyalah tentang Wiro Sableng atau  si Buta dari gua hantu. Film-film Nasional yang bernuansa perjuangan dan kepahlawanan semacam Naga bonar dan Cut Nya’ Dein  ternyata kalah menarik dengan Film Barat seperti Restless, Orginal Sin dan Titanic. Ibu-ibu muda juga tidak lagi mendendangkan  lagu Padamu negeri, Lir sa’ alir, tombo ati dsb, karena dianggap kalah ngetren dengan lagu Nowhere, A light That Never Comes, Meant to live, atau juga Dastaan dan Aon Sune Lehron Se. Kalau  toh ada lagu nasional yang kadang masih dinyanyikan, itu adalah tentang  “Indonesia  Sejak dulu Kala”(Kalah).
Apa makna ini semua kalau dikaitkan dengan refleksi hari kemerdekaan yang kita capai 69 tahun lampau ?  Bahwa selama ini telah terjadi  Brain Washing  pada masyarakat kita, struktur otak masyarakat kita telah dicuci habis oleh budaya tran nasional. Telah terjadi some think rong pada pemahaman kita tentang memperingati hari kemerdekaan.  Mustinya memperingati hari kemerdekaan adalah rekonstruksi actual dari semangat perjuangan, kepahlawanan, pengorbanan, persatuan dan semangat kebebasan, dan sama sekali bukan pesta kemenangan, sehingga aktifitas masyarakat dalam memperingati hari kemerdekaan harus dioerientasikan pada  upaya mempertebal  sejumlah semangat diatas.
Sudah 69 kali kita memperingati hari kemerdekaan, dan itu waktu yang sangat cukup untuk kita mengevaluasi dan mengaca diri. Seharusnya dalam kurun waktu yang seperti itu, kita tidak lagi mengirim TKW dan TKI yang rendah SDM menjadi kuli di negeri orang lain. Indonesia adalah negara yang sumber daya alamnya melimpah, namun sayang koruptornya juga melimpah,  belum lagi soal capital flight dimana para elit menanam modal besar besaran justru tidak di negeri sendiri, tetapi di negeri orang lain. Juga soal gaya hidup yg memihak pada barang-barang import,  akibatnya nasi pecel  Bu Topik (BT), rujak  cingur B Mat, bajigur Pak Dul  kalah bersaing dengan Fried  Chicken Kentucky, Mc Donald, Chips Patatos, Black Forest, Roots Beer, dan pasar-pasar tradisional terpinggirkan oleh Alfamart, Indomart dan sejenisnya. Padahal  sekali saja kita berbelanja barang-barang mereka sesungguhnya kita telah ikut serta membesarkan perekonomian mereka yang pada gilirannya membunuh diri kita sendiri. Itu artinya kita sedang memberikan lahan pekerjaan bagi orang lain disaat kita sendiri sedang megap-megap mencari pekerjaan.
Sejak neo liberalisme menjadi program utama bangsa ini orang miskin semakin tak mungkin menikmati hasil kemerdekaan seperti layanan pendidikan, layanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai dan pekerjaan yang layak, neo liberalisme sebagai iodeologi dunia kini telah sukses meluluh lantakkan pertahanan hidup orang miskin yang termiskinkan oleh sistem global sehingga terlantar bahkan terjajah di negeri sendiri yang konon kaya.
Sesungguhnya tidak ada satu negarapun  yang bertugas menyusahkan apalagi menyengsarakan rakyatnya, tugas semua negara dimanapun adalah mensejahterakan, melindungi, mensehatkan dan mencerdaskan rakyatnya, namun  ajaib di negeri ini, laksana pesulap, tiba tiba saja hampir sebagian besar kebijakan pemerintah tidak memihak kepada orang miskin kendati mereka selalu mengatasnakamannya. 
Saya memang tidak punya data yang komplit tentang ketidak adilan, tetapi mataku tidak buta menyaksikan hingar bingar jalan raya yang kian dipenuhi kendaraan bikinan jepang, itali, as dan eropa,  sementara tukang becak terus tersingkirkan oleh kebijaksanaan pemerintah.  Pemain dabus, yang kebal senjata api, sekali pentas mendapat gaji 130 ribu Rp, tapi pejabat BPPN yang kebal hukum, digaji 130 juta sebulan. Rumah kumuh warga miskin digusur demi keindahan kota, dengan ganti rugi yang sangat rugi dan tak pernah untung.
Memang ada yang bernama rumah sakit islam Abu Bakar, tetapi biayanya tetap Abu Jahal, ketika seorang pasien tanya kepada dokternya,  Apa penyakit saya bisa disembuhkan dok ? tenang..nanti kalau tidak sembuh, kemari lagi ya.. gampang tho... Kendati secara konsepsional telah ada askes bagi warga miskin, tetapi dalam ranah operasionalnya selalu terbentur dengan prosedur birokrasi yang rumit dan berbelit belit, maka upaya manusia miskin mendapatkan layanan kesehatan seperti layaknya manusia lainnya hanya menjadi asa yang utopis, padahal mereka adalah manusia juga.
Kita mesti sering sowan dan berkontemplasi di hadapan makam para pahlawan, berapa banyak  para pendahulu kita yang rela mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan ini ? betapa pedih perjuangan mereka,?  lalu kenapa kita tidak merasa punya beban moral kepada mereka? Kenapa supremasi hukum masih terus dipermainkan? Kenapa keadilan dan pemerataan belum sepenuhnya dilakukan ? kenapa biaya pendidikan masih mahal ? Dan kenapa koruptor-koruptor itu masih saja berkeliaran ? tidak malukah kita pada para pahlawan yang gugur sebagai bunga Bangsa? Kita memang termasuk generasi yang tidak pandai bersyukur dan tidak pandai nmenghargai jerih payah pendahulunya.
Kita memang harus banyak belajar, belajar dari kisah-kisah terdahulu sebagai bahan bercermin diri. Misalnya tentang pemerintahan Umar bin Abd Aziz gubenur syiria. Suatu ketika, Umar bin Abd Aziz lembur hingga larut malam menyelesaikan tugas tugas negara, kemudian putra tercintanya datang mengetuk pintu, wahai anakku adakah sesuatu yang sangat penting sehingga engkau datang menyusulku kemari ? Benar ayahanda, ada urusan keluarga yang mendesak untuk kita bicarakan, Umar kemudian mematikan lampu templek di ruang kerjanya sehingga ruangan itu menjadi gelap. Ayah..saya datang kemari untuk membicarakan urusan keluarga yang sangat penting, kenapa ayah mematikan lampu sehingga gelap begini ?  Dengan bijak Umar menjawab, anakku, kita akan bicara soal pribadi, sedang lampu itu adalah fasilitas negara yang dananya berasal dari rakyat, tidak pantas kita menggunakan fasilitas negara untuk soal pribadi. Saya berfikir, kalau saja di negeri ini semua pejabat negara berprilaku seperti Umar, pastilah saudara-saudara kita tidak perlu menjadi babu di negeri orang .
Kita bisa juga terpecut oleh sindiran halus Pak Ponimin yang rumahnya tergusur oleh pembangunan real estate. Dia mengatakan dengan lirih “ kita sabar saja menyaksikan korupsi, tahan hidup susah, bangga menjadi miskin. Kata dia, harga-harga memang semakin menggila, tapi yang sabar saja, bukankah kita hidup di sebuah negara yang paling ajaib di dunia, dimana makan atau tidak makan adalah persoalan biasa. Kita musti sabar, tahan lapar terus dan tetap kalem, sabar...cool...cool.
Zaman merdeka, penguasa adalah rakyat, zaman pembangunan, penguasa bukan lagi rakyat, zaman reformasi, penguasa pandai mengatasnamakan rakyat, zaman edan penguasa makan rakyat, zaman kiamat, penguasa sendirian tanpa rakyat #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar