Ust. Hefni Zain
Ketika memeriksa bacaan putra putri kita dirumah atau
melihat judul buku yang mereka hafal, kita kadang terkejut, karena yang mereka
gemari bukannya kisah tentang perjuangan pangeran Diponegoro, Imam bonjol, jendral
Sudirman, Bung Tomo atau Ra Kartini, melainkan sederet buku tentang kisah
petualangan Cinderella karya Cristian Anderson, Asterix karangan Goscinny atau
Lucky Luke karya Morris X Fauchei.
Kisah kepahlawanan, semangat perjuangan dan pengorbangan tokoh-tokoh nasional telah tergeser oleh ketenaran Alice Cooper, Mc Hammer, David Hewson, dan
sejenisnya. Dan kalau masih
ada yang berbau nasional, paling-paling hanyalah tentang Wiro Sableng atau si Buta
dari gua hantu. Film-film Nasional yang
bernuansa perjuangan dan kepahlawanan semacam Naga bonar dan Cut Nya’ Dein ternyata kalah menarik dengan Film Barat
seperti Restless, Orginal Sin dan Titanic. Ibu-ibu muda juga tidak lagi mendendangkan lagu Padamu negeri, Lir sa’ alir, tombo ati
dsb, karena dianggap kalah ngetren dengan lagu Nowhere, A light That Never
Comes, Meant to live, atau juga Dastaan dan Aon Sune Lehron Se. Kalau toh ada lagu nasional yang kadang masih dinyanyikan, itu adalah
tentang “Indonesia Sejak dulu Kala”(Kalah).
Apa makna ini semua kalau dikaitkan dengan refleksi hari kemerdekaan
yang kita capai 69 tahun lampau ? Bahwa
selama ini telah terjadi Brain Washing pada masyarakat
kita, struktur otak masyarakat kita telah dicuci habis oleh budaya tran nasional. Telah terjadi some think rong pada
pemahaman kita tentang memperingati hari
kemerdekaan. Mustinya memperingati hari kemerdekaan adalah rekonstruksi
actual dari semangat perjuangan, kepahlawanan, pengorbanan, persatuan dan
semangat kebebasan, dan
sama sekali bukan pesta kemenangan,
sehingga aktifitas masyarakat dalam memperingati hari kemerdekaan harus dioerientasikan pada upaya
mempertebal sejumlah semangat diatas.
Sudah 69 kali kita memperingati hari
kemerdekaan, dan itu waktu yang sangat cukup untuk kita mengevaluasi dan
mengaca diri. Seharusnya dalam kurun
waktu yang seperti itu, kita tidak lagi mengirim TKW dan TKI yang rendah SDM menjadi kuli di negeri
orang lain. Indonesia adalah negara yang sumber daya
alamnya melimpah, namun sayang koruptornya juga melimpah, belum lagi soal capital flight dimana para elit menanam
modal besar besaran justru tidak di negeri sendiri, tetapi di negeri orang lain. Juga soal gaya hidup yg memihak pada barang-barang import, akibatnya nasi pecel Bu Topik (BT),
rujak cingur B Mat, bajigur Pak Dul kalah bersaing dengan Fried Chicken Kentucky, Mc Donald, Chips Patatos,
Black Forest, Roots Beer, dan pasar-pasar tradisional terpinggirkan oleh Alfamart, Indomart dan
sejenisnya. Padahal sekali saja kita berbelanja barang-barang
mereka sesungguhnya kita telah ikut serta membesarkan perekonomian mereka yang
pada gilirannya membunuh diri kita sendiri. Itu artinya kita sedang memberikan
lahan pekerjaan bagi orang lain disaat kita sendiri sedang megap-megap mencari pekerjaan.
Sejak neo liberalisme
menjadi program utama bangsa ini orang miskin semakin tak mungkin menikmati
hasil kemerdekaan seperti layanan pendidikan, layanan kesehatan, tempat tinggal
yang memadai dan pekerjaan yang layak, neo liberalisme sebagai iodeologi dunia
kini telah sukses meluluh lantakkan pertahanan hidup orang miskin yang
termiskinkan oleh sistem global sehingga terlantar bahkan terjajah di negeri
sendiri yang konon kaya.
Sesungguhnya tidak ada satu
negarapun yang bertugas menyusahkan
apalagi menyengsarakan rakyatnya, tugas semua negara dimanapun adalah
mensejahterakan, melindungi, mensehatkan dan mencerdaskan rakyatnya, namun ajaib di negeri ini, laksana pesulap, tiba
tiba saja hampir sebagian besar kebijakan pemerintah tidak memihak kepada orang
miskin kendati mereka selalu mengatasnakamannya.
Saya memang tidak punya data
yang komplit tentang ketidak adilan, tetapi mataku tidak buta menyaksikan
hingar bingar jalan raya yang kian dipenuhi kendaraan bikinan jepang, itali, as
dan eropa, sementara tukang becak terus
tersingkirkan oleh kebijaksanaan pemerintah.
Pemain dabus, yang kebal senjata api, sekali pentas mendapat gaji 130
ribu Rp, tapi pejabat BPPN yang kebal hukum, digaji 130 juta sebulan. Rumah kumuh
warga miskin digusur demi keindahan kota, dengan ganti rugi yang sangat rugi
dan tak pernah untung.
Memang ada yang bernama
rumah sakit islam Abu Bakar, tetapi biayanya tetap Abu Jahal, ketika seorang
pasien tanya kepada dokternya, Apa
penyakit saya bisa disembuhkan dok ? tenang..nanti kalau tidak sembuh, kemari
lagi ya.. gampang tho... Kendati secara konsepsional telah ada askes bagi warga
miskin, tetapi dalam ranah operasionalnya selalu terbentur dengan prosedur
birokrasi yang rumit dan berbelit belit, maka upaya manusia miskin mendapatkan layanan
kesehatan seperti layaknya manusia lainnya hanya menjadi asa yang utopis,
padahal mereka adalah manusia juga.
Kita
mesti sering sowan dan berkontemplasi di hadapan makam para pahlawan, berapa
banyak para pendahulu kita yang rela
mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan ini ? betapa pedih perjuangan
mereka,? lalu kenapa kita tidak merasa
punya beban moral kepada mereka? Kenapa supremasi hukum masih terus
dipermainkan? Kenapa keadilan
dan pemerataan belum sepenuhnya dilakukan ? kenapa biaya pendidikan masih mahal
? Dan kenapa koruptor-koruptor itu
masih saja berkeliaran ? tidak malukah
kita pada para pahlawan yang gugur sebagai bunga Bangsa? Kita memang termasuk
generasi yang tidak pandai bersyukur dan tidak pandai nmenghargai jerih payah pendahulunya.
Kita memang harus
banyak belajar, belajar dari kisah-kisah terdahulu sebagai bahan bercermin
diri. Misalnya tentang pemerintahan Umar bin Abd Aziz gubenur syiria. Suatu
ketika, Umar bin Abd Aziz lembur hingga larut malam menyelesaikan tugas tugas
negara, kemudian putra tercintanya datang mengetuk pintu, wahai anakku adakah
sesuatu yang sangat penting sehingga engkau datang menyusulku kemari ? Benar
ayahanda, ada urusan keluarga yang mendesak untuk kita bicarakan, Umar kemudian
mematikan lampu templek di ruang kerjanya sehingga ruangan itu menjadi gelap.
Ayah..saya datang kemari untuk membicarakan urusan keluarga yang sangat
penting, kenapa ayah mematikan lampu sehingga gelap begini ? Dengan bijak Umar menjawab, anakku, kita akan
bicara soal pribadi, sedang lampu itu adalah fasilitas negara yang dananya
berasal dari rakyat, tidak pantas kita menggunakan fasilitas negara untuk soal
pribadi. Saya berfikir, kalau saja di negeri ini semua pejabat negara berprilaku
seperti Umar, pastilah saudara-saudara kita tidak perlu menjadi babu di negeri
orang .
Kita bisa juga terpecut
oleh sindiran halus Pak
Ponimin yang rumahnya tergusur oleh pembangunan real estate. Dia mengatakan
dengan lirih “ kita sabar
saja menyaksikan
korupsi, tahan hidup susah, bangga menjadi miskin. Kata dia, harga-harga memang semakin menggila, tapi yang sabar saja, bukankah kita hidup di sebuah negara yang paling ajaib di dunia,
dimana makan atau tidak makan adalah
persoalan biasa. Kita
musti sabar, tahan lapar terus dan tetap kalem, sabar...cool...cool.
Zaman
merdeka, penguasa adalah rakyat, zaman pembangunan, penguasa bukan lagi rakyat,
zaman reformasi, penguasa pandai
mengatasnamakan rakyat, zaman
edan penguasa makan rakyat, zaman kiamat, penguasa sendirian tanpa rakyat #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar