Ust. Hefni Zain
Muqaddimah
Masih terdengar di perbincangan
masyarakat, bahwa asal mula perempuan adalah dari tulang rusuk laki-laki. Pernah suatu ketika dalam obrolan ringan, seorang teman menyatakan,” aku ingin sekali cepat menemukan dimana gerangan
tulang rusukku itu berada..” ada lagi’ “ sepertinya aku masih merasa cacat
karena tulang rusukku yang masih terbelah. Entah dimana dia tersimpan. Ingin
sekali cepat mendapatkannya agar aku bisa menyempurnakan hakikat diriku” sekilas
kedengarannya meyakinkan. Namun ia tampak klise. secara rasio, mana mungkin
perempuan yang secara fisik hampir seluruhnya serupa dengan bentuk laki-laki
itu, bisa dikatakan bahwa ia tercipta dari tulang rusuknya. Unsur yang
membedakannya hanya terletak pada segi anatomi fisik-biologisnya saja. Analogi
absurd inipun baru yang dapat dilihat dari kaca mata logika. Walau terlepas
dari keyakinan bahwa segala kemungkinan akan terjadi jika Allah swt
berkehendak.
Jika ditelisik dari teks agama,
terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang nampak mengisyaratkan asal-mula
penciptaan perempuan, diantaranya : Qs. Al-Nisa’:1, Qs. Al-A’raf:189, Qs.
Al-Zuma : 6. Dari ketiga ayat
tersebut, tidak ada satu lafadz pun yang secara eksplisit mengatakan penciptaan
manusia dengan nama adam dan hawa. Misalnya
Qs. Al-Nisa’:1 “ Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Penafsiran kontroversial
dalam ayat tersebut terletak pada lafadz nafs wahidah, dhomir “min”,
dan zaujaha. Para ulama tafsir secara umum berpendapat bahwa lafadz
“nafs” yang dimaksud disini adalah adam. Kemudian lafadz “min” diambil dengan
proposisi makna “dari”(sesuatu dari sesuatu yang lain) dan lafadz “ zaujaha”
diartikan sebagai istri adam, hawa. Sehingga dengan mudah dipahami bahwasanya
hawa diciptakan dari bagian unsur organ tubuh adam tepatnya pada tulang
rusuknya. adapun kitab-kitab tafsir mu’tabar yang turut mengiyakan bentuk penafsiran
diatas adalah tafsir al-Qurthubi, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Bahr
al-Muhith, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir al-Sa’ud, Tafsir
Jami al-Bayan dan Tafsir al-Maraghi.
Berbeda dengan penafsiran imam
Abu Muslim al-Asfahani dalam tafsir al-Razi yang mengatakan bahwa maksud dari
dhamir “minha” disini bukan dari tubuh adam, melainkan tercipta dari gen, unsur
pembentuk adam. Jadi, adam dan hawa sama-sama tercipta dari tanah. Hanya saja
adam lebih didahulukan penciptaannnya baru setelah rampung, kemudian Allah
menciptakan hawa dari tanah pula. Rifat Hassan, Tokoh
feminis muslimah berkebangsaan India, menolak keras penafsiran jumhur
tadi. Dia berpendapat bahwa, kata “nafs” disini netral. Tidak harus
merujuk pada adam. jika nafs wahidah diartikan adam, maka kata”adam” dalam
semantis-linguistiknya berarti kata benda maskulin yang sederajat dengan arti
al-insan, al-basyar dan al-nas dan bukan diartikan sebagai jenis kelamin.
Begitu juga DR. Abdul
Ghani Shama
(Penasehat menteri wakaf
Mesir), mengatakan bahwa adam dan hawa diciptakan dari unsur
materi yang sama. Sedangkan pihak yang mengatakan bahwa hawa tercipta dari
tulang rusuk adam, adalah
hepotesa yang diadopsi dari kisah-kisah israiliyat yang diragukan keabsahannya. Abdul Ghani Shama berpendapat bahwa sejarah awal interpretasi Al-Quran dipengaruhi setting kehidupan sosial dan budaya yang menjalar ketika itu,
yakni kehidupan yang dikuasai pihak-pihak yang berpaham patriarchal. Tentunya, paradigma eksentrik
ini jauh diluar dogma yang telah diajarkan Nabi. Tak diragukan lagi, tokoh teladan sejuta umat,
pembawa risalah suci sejagat raya, Nabi Muhammad saw dengan segala praktik gender equality dan spirit
equality yang diusungnya, berhasil mengangkat kedudukan perempuan dimasa
itu sejajar dengan laki-laki dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan baik
dalam skala local, regional sampai global.
Melacak Akar Penafsiran
Mengapa di dunia Islam sampai terjadi perlakuan yang
menyebabkan “dehumanisasi” atau minimal mereduksi eksistensi kemanusiaan
perempuan? Apakah tidak mungkin hal ini disebabkan oleh adanya bias gender
dalam penafsiran al-Qur’an yang kebanyakan didominasi oleh kaum laki-laki yang
pada ujung-ujungnya mempunyai implikasi terhadap penafsisran al-Qur’an
tersebut, sehingga penafsiran-penafsiran itu cenderung hanya mengakomodasi
kesadaran, visi dan misi laki-laki saja.
Adalah benar bahwa secara teologis al-Qur’an dianggap
mempunyai keberadaan absolut dan abadi. Namun ketika al-Qur’an ditafsirkan dan
masuk dalam disket pemikiran manusia (baca: Mufassir) yang syarat dengan
berbagai prejudices, setting sosiao-historis yang melingkupinya maka
keberadaan penafsiran itu menjadi relatif sifatnya. Berangkat dari asumsi bahwa hasil penafsiran
al-Qur’an itu relatif sifatnya dan bahwa al-Qur’an diklaim sebagi salihun li
kulli zaman wa makan maka mau tak mau al-Qur’an harus selalu ditafsirkan
seiring dan senafas dengan akselerasi perubahan dan perkembangan zaman, karena
al-Qur’an memang sangat kaya akan ma’na dan penafsiran (yahtamulu wujuh
al-ma’na).
Menurut penelitian para
antropolog, keadaan dunia islam pasca wafat nabi merupakan masa yang sarat akan
gejala-gejala dekadensi hukum dan budaya meski sempat tercerahkan sebelumnya. Apalagi keadaan nash Al-Quran dan Al-Hadits yang
ketika itu masih berada dalam tahap kodifikasi serta proses interpretasi. Yang
tentunya, kondisi dan situasi local yang terjadi pada suatu masa, memiliki
tendensius besar bagi para ulama tafsir maupun para exegesist dalam usaha manifestasi
interpretasi hukum teologis yang akan ditetapkan.
Membludaknya penyaringan
enkulturasi yang diserap islam dari budaya androsentris yang notabene
missogamis, sangat niscaya jika menjamin terkontaminasinya pemikiran para ulama
oleh paham patriarki tersebut. Diantaranya, adalah pengaruh ekspansi dakwah
islam di hampir seluruh belahan bumi eropa dan Afrika dengan percampuran antara
budaya wilayah jajahan Persia di timur, wilayah jajahan Romawi yang teradopsi
oleh budaya Yunani, bahkan Mesir yang terpengaruh oleh budaya Mesir kunonya,
semakin mendukung pada proses enkulturasi tersebut. Sehingga, sangat beralasan
jika kemudian penafsiran ayat-ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang cenderung
mengisyaratkan mekanisme penciptaan perempuan itu, kemudian ditafsirkan mirip
seperti dengungan redaksi kitab genesis dalam perjanjian lama tepatnya di pasal
21-23 yang mengatakan bahwa, “ketika adam sedang sendirian ditaman surga, maka
Allah menidurkannya. Kemudian dalam keadaan
tidur, Allah mengambil bagian tulang rusuk kiri adam dan melapisinya dengan
daging akhirnya terbentuklah makhluk sejenis perempuan. Dan setelah bangun,
muncul disisinya sosok perempuan cantik tersenyum padanya. Bertanya adam, “siapa
kamu?” “perempuan”, jawab hawa. “Mengapa kamu diciptakan”?,
Tanya adam lagi. “supaya kamu mendapat kesenangan dari saya”, kata hawa.
Dan ditanyakan ke malaikat bahwa dia dinamakan hawa karena dia diciptakan dari
sebuah benda hidup (tulang rusuk)”.
Kisah estetis yang ternyata juga
tersirat di kitab yahudi ini dan kitab semit lainnya, ternyata sudah menjadi
santapan obrolan lama berikut kepercayaan dasar dari mayoritas umat agama islam
semenjak dahulu kala. Bagaimana tidak, la
wong ulama tafsir klasik pun menyuapi kisah dan keyakinan yang sejalan
dengan kisah-kisah israiliyat tersebut. Dari sini, nampak sudah akar penyebab
ayat-ayat yang terkesan bias gender sehingga berimplikasi pada
tersubordinasinya posisi perempuan dalam bingkai kehidupan filosofis-teologis
berikut sosio-kultural yang menganak-turun ini.
Tak hanya nash
Al-Quran, teks Al-Hadits pun turut termanipulasikan oleh budaya dan tradisi
lokal. Teks-teks hadits bahkan lebih banyak diklaim bias gender. Posisi hadits
yang dinyatakan sebagai bentuk tafsir perincian dan penjelas dari nash Al-Quran
ini semakin memperkuat asumsi the second creation-nya perempuan karena
tertulis sangat jelas disana adanya lafadz “al-Dhol’i “ yang berarti
tulang rusuk. Yang semula di Al-Quran masih bermakna ambigu, ternyata telah
tertera sangat gamblang di Al-Hadits bahwa nyatanya perempuan selalu
disandingkan oleh kata tulang rusuk. Diperkuat lagi dengan perawi-perawi hadits
yang mengupas tentang hal ini, adalah kebanyakan para perawi shohih, seperti
Bukhori Muslim.
Padahal, jika ditelisik lebih
jauh, dari sekian banyak hadits yang memuat ciri perempuan yang dari tulang
rusuk itu, selalu diawali dengan huruf” lam jeir” yang berarti “seperti”.
Meskipun ada sebagian
yang bergandengan dengan huruf “min”, itupun hanya segelintir. Dan lagi,
kumpulan hadits yang berbicara masalah perempuan ini, tak ada satupun yang
berjudulkan “penciptaan perempuan” tapi “ cara bermu’amalah dengan perempuan”.
Seperti dalam contoh : “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk.
Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling
atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika
engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun
padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632).
Telah terpampang jelas
tema besar dalam permulaan hadits ini, yaitu “ cara bermu’amalah dengan
perempuan” sangat tidak etis jika penafsiran lafadz “diciptakan” diatas, kita
artikan secara tekstual. Tentunya, teks kalam Ilahi maupun sabda Rasul
mengandung makna eksoterik dan esoteric yang mendalam. Berkaitan
dengan makna esoteric, suatu teks yang didalamnya bermakna rahasia yang mampu
diketahui oleh orang-orang tertentu saja (orang-orang yang berilmu). Termasuk
makna teks hadits tersebut, yang sarat mengandung makna metaforis. huruf “min”
diatas berarti “bersifat” yang artinya, perempuan diciptakan dengan “bersifat
tulang rusuk”. Isyarat akan ciri kelembutannya, kehalusan perasaannya, sikap
dan bawaannya yang mudah berubah-ubah, cepat emosi dan temperamental.
Untuk itu, Rosulullah mengarahkan
kaum laki-laki untuk bersikap sabar, pemaaf dan bijaksana. Seperti filosofi
yang terkandung dalam tulang rusuk itu, bahwa jika sang laki-laki tidak mau
memahaminya, bahkan menghukum istrinya dan memaki-makinya, maka niscaya tidak
akan menghasilkan apa-apa kecuali keretakan dan perpecahan dalam rumah tangga.
Sangat bijaksana jika kita telusuri makna tabiat “kebengkokan” tersebut, adalah
salah satu ciri keistimewaan perempuan oleh pengaruh fungsionalitas anatomiknya
yang mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara anak-anaknya. Yang dengannya, membutuhkan feeling yang kuat,
perasaan yang halus, dan daya sensitivitas yang tinggi.
Dari sini, bisa dipahami bahwa
hakikat tulang rusuk yang sempat heboh oleh dengungan adagium para ulama
tafsir, ulama fiqh serta exegesit klasik, perlu kita kaji ulang
teks-teks yang berkaitan dengannya. Pengaruh tradisi,
budaya maupun geografis suatu tempat dan masa, sangat identik pada tendensi
lahirnya suatu interpretasi teks teologis. Begitu juga ajaran teologis, iapun memiliki
dampak yang sangat besar pada pembentukan pola pikir dan kepercayan suatu kaum.
Rasyid
Ridla menolak pandangan maenstrem
Rasyid Ridla menolak pandangan para mufassir yang
mengatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Dikatakan lagi dari
tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok ketika Adam sedang tidur. Menurut
Ridla ide tersebut timbul dari apa yang
termaktub di dalam Perjanjian Lama (Kitab Kejadian II: 21-23). Ridla mengatakan bahwa jika tidak tercantum kisah
kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama tersebut, maka pendapat “Hawa
tercipta dari tulang rusuk Adam” tidak akan pernah terlintas dalam benak umat
Islam. Ridla juga mengatakan bahwa kisah kejadian Hawa tersebut juga terdapat
dalam kitab Taurat.
Dari cerita kejadian Hawa yang
terdapat di dalam kedua kitab tersebutlah, kemudian muncul pemahaman bahwa Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam. Menarik untuk ditelaah
kembali pernyataan Rasyid Ridla tersebut. Karena kalau kita melihat sejarah,
maka kebudayaan Arab pada zaman jahiliyah banyak diwarnai oleh kebudayaan ahli
kitab dari kaum Yahudi yang pindah ke Jazirah Arab sejak tahun 70 Masehi.
Mereka pindah dengan membawa kebudayaan yang mereka ambil dari kitab-kitab
agama mereka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka
mempunyai tempat khusus yang dijadikan sebagai pusat pengkajian warisan
kebudayaan yang dinamakan dengan Midras.
Pada saat itu Islam datang, dan di
Jazirah Arabilah dakwah Islam mulai tersebar. Akhirnya, kaum Yahudi banyak yang
memeluk Islam. Karena orang Yahudi (baik yang sudah Islam maupun yang belum)
bertetangga dan berhubungan dengan kaum Muslimin, lama-kelamaan terjadilah
pertemuan yang intensif antara keduanya, yang akhirnya juga terjadi pertukaran
pandangan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, melekatlah kebudayaan Yahudi
dengan kebudayaan Islam melalui media yang lebih luas juga.
Kegiatan itupun masih tetap
berlansung sampai masa sahabat dan tabi’in. Sampai pada akhirnya cerita-cerita israiliyat
tersebut merembet kedalam tafsir dan hadits dalam waktu yang sama secara
berbarengan. Cerita-cerita ahli kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani
banyak diminati oleh-oleh orang-orang Islam tetutama mereka yang masih awam.
Mereka punya keinginan yang besar sekali untuk mengetahui kisah-kisah dan
berita-berita yang tidak dirinci secara jelas dalam Al-Qur’an terutama kisah-kisah para Nabi, peperangan,
kejadian manusia dan lain-lain.
Pada masa tabi’in, penukilan dari
ahli kitab semakin luas dan cerita-cerita israiliyat di dalam tafsir dan
hadits semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk
Islam dari kalangan ahli kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh
keinginan yang kuat dari orang-orang yang medengarkan kisah-kisah ajaib di
dalam kitab mereka. Bahkan ada sekelompok mufassirin yang selalu
membenarkan cerita-cerita israiliyat di dalam tafsir-tafsir mereka.
Karenanya banyak tafsir-tafsir yang dipenuhi oleh kisah-kisah yang semuanya
lemah dan samar. Kemudian setelah masa
tabi’in, tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita israiliyat dan
diambilnya secara ceroboh, sehingga setiap cerita tersebut tidak ada lagi yang
ditolak. Mereka tidak lagi mengembalikan cerita tersebut
kepada Al-Quran, meskipun tidak dimengerti oleh akal.
Dari
sinilah apa yang dikatakan oleh Ridla menemukan titik
akurasinya, bahwa sumber pemahaman Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam adalah dari Taurat dan Injil. Persoalannya sekarang
adalah bagaimana sikap kita terhadap cerita yang dibawa oleh kaum Yahudi dan
Nasrani terhadap konsep penciptaan hawa
tersebut ? Ridla mengutip pendapat Ibn Hajar
al-Asqalani yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang
pendek ketika Adam sedang tidur. Dikatakan pula dari
tulang rusuk Adam sebelah kiri yang pendek. Lebih lanjut Ibn Hajar mengatakan
bahwa dari hadits tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa perempuan bersifat
bengkok. Dikatakan demikian karena tulang rusuk tersebut mengandung makna
penetapan sifat bengkok yag dimiliki oleh kaum perempuan. Menurut Ridla, penjelasan Ibn Hajar
tersebut hendaknya dicari titik kelemahannya. Lebih lanjut Ridla mengatakan
bahwa pengibaratan penciptaan manusia dengan penciptaan tumbuhan teresebut
merupakan sesuatu yang ghari<b (aneh). Dan ini melampaui batas ucapan para
ulama salaf dan khalaf terutama dalam masalah ini. Meskipun demikian, Ridla
tidak memberikan pemaparan yang jelas makna hadits tersebut.
Setelah menempuh pemikiran mendalam
serta mempertimbangkan berbagai argumentasi, akhirnya hadits tersebut mesti difahami secara metafora (majazi) seperti yang
difahami oleh ulama-ulama kontemporer. Diantaranya
adalah pendapat Aisyah Abdurrahman (Bint al-Syathi’) yang mengatakan bahwa
pandangan “tulang rusuk yang bengkok “ menjadi asal-usul kejadian perempuan
adalah sangat tekstual dan harfiah. Padahal, menurut bahasa yang dikenal dalam
tatanan bahasa Arab, kata “ tulang rusuk” merupakan kata kiasan (majazi). Menurutya,
hadits tersebut bukan dimaksudkan untuk menerangkan pengertian asal-usul
penciptaan perempuan, tetapi merupakan perintah kepada keturunan Adam agar
tidak memperlakukan perempuan secara kasar.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Quraish Shihab. Menurutnya, hadits tersebut memperingatkan para lelaki agar
menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan
kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, yang apabila tidak
disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan
sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal,
sebagaimana fatalnya tulang rusuk yang bengkok.
Dari paparan diatas
mengharuskan kita menempatkan hadits Bukhari dan Muslim sebagaimana yang
disebut diatas untuk
difahami secara majazi. Karena hadits tersebut tidak menerangkan
asal-usul penciptaan perempuan, tetapi penringatan kepada keturunan Adam,
supaya memperlakukan perempuan secara bijaksana. Karena ada sifat, karakter dan
kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki, dan apabila tidak disadari akan
membuat kaum lelaki bersikap tidak wajar.
Kritik Amina Wadud
Riset Amina Wadud mengenai perempuan dalam al-Qur’an yang
tertuang dalam bukunya Qur’an and Woman, merupakan upaya untuk menjawab
kegelisahan iintelektualnya mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakat yang
diduga sebagai bias patriarkhi yang cenderung memarjinalkan perspektif wanita
dalam penafsiran al-Qur’an konvensional. Dari sini Wadud mencoba untuk
melakukan dekonstruksi terhadap model penafsiran klasik dan sekaligus
merekonstruksinya dengan menawarkan metode tafsir baru yang inklusif gender.
Dalam risetnya Wadud menggugat habis bias gender yang mewarnai tradisi tafsir
selama ini. Ia membedakan nas-nas dan kata-kata kunci tertentu yang telah
digunakan untuk membatasi peran kemasyarakatan dan individual muslimah, dan
menunjukkan bahwa makna asli dan konteks dari nas-nas tersebut menolak
penafsiran demikian. Apa yang diklarifikasi oleh analisisnya adalah tiadanya
bias, preseden, atau prasangka gender dalam al-Qur’an.
Riset Wadud mempertegas persamaan wanita dan menentang
perlakuan tak adil yang secara historis telah dialami wanita dan secara legal
terus berlanjut diberbagai komunitas muslim dewasa ini. Qur’anlah, tandas
Wadud, yang paling berpeluang untuk membimbing masyarakat manusia menuju
kolaborasi antara laki-laki dan perempuan yang paling efektif. Lewat karya
tulisnya “Qur’an and Woman” Amina Wadud menggulirkan letupan-letupan
pemikirannya yang cerdas, tegas dan syarat akan kritik. Ini dapat kami lihat
tatkala ia memamparkan kategorisasi penafsiran al-Qur’an. Menurut Amina Wadud
penafsiran-penafsiran tentang wanita selama ini dapat dikategorisasikan menjadi
tiga corak: tradisional, reaktif, holistik.
Kategori pertama, tafsir “tradisional”. Model tafsir ini
menurut Amina Wadud menggunakan stressing tertentu sesuai dengan minat
dan kecenderungan mufassirnya, seperti hukum, isoteris, sejarah, sastra,
gramatika, dan lain sebagainya. Model tafsir semacam ini bersifat atomistik,
penafsirannya dilakukan ayat per ayat dan tidak tematik (maudhu’i),
sehingga bahasannya terkesan parsial, tidak ada upaya untuk mendiskusikan
tema-tema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri. Mungkin saja ada pembahasan
mengenai hubungan antara ayat satu dengan ayat lainnya. Namun, ketiadaan
penerapan hermeneutik atau metodologi yang menghubungkan ide, struktur,
sintaksis, atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap Weltanschauung
al-Qur’an
Yang menjadi kritik tujuan Amina Wadud terhadap model
tafsir pertama ini adalah kesan ekslusifnya karena hanya ditulis oleh kaum Adam,
sehingga yang terakomodasi di dalamnya hanya visi dan perspektif laki-laki Dan
akhirnya pembentukan paradigma dasar dihasilkan tanpa partisipasi dan
representasi langsung dari kaum wanita. Tragisnya kebungkaman wanita selama
periode kritis perkembangan tafsir al-Qur’an bukan saja tidak diperhatikan,
bahkan situasi ini secara salah telah dipersamakan dengan kebungkaman al-Qur’an
itu sendiri. Dan yang lebih tragis lagi disadari atau tidak seringkali kaum
muslim menggunakan legitimasi agama (dalam hal ini tafsir model tradisional
yang dianggapnya merupakan hasil pemikiran yang sudah final dan taken for
granted) untuk mengabsahkan perilaku dan tindakannya. Benar kiranya apa
yang pernah diikatakan oleh Peter L. Berger bahwa agama sering kali dijadikan
legitimasi tertinggi karena ia merupaan sacred canopy (langit-langit
suci)
Kategori kedua, tafsir reaktif, tafsir model ini
merupakan reaksi para pemikir modern terhadap berbagai kendala berat yang
dihadapi wanita sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang dianggap
berasal dari al-Qur’an . Persoalan yang dibahas seringkali berasal dari gagasan
kaum feminis dan rasionalis tanpa dibarengi analisis dan komprehensif terhadap
ayat-ayat bersangkutan sehingga terlihat terputus dari sumber ideologi atau
teologi Islam yakni al-Qur’an. Reaksi mereka tidak berhasil membedakan antara
penafsiran dan al-Qur’an
Kategori ketiga, tafsir holistik, tafsir model terakhir
ini menggunakan metode penafsiran yang komprehensif dan mengkaitkannya dengan
berbagai masalah sosial, moral, ekonomi dan politik modern termasuk isu tentang
wanita. Tafsir model ini merupakan kontribusi penting Wadud dalam
merekonstruksi tafsir-tafsir yang ada.
Setiap pemahaman dan penafsiran terhadap suatu teks
termasuk teks kitab suci al-Qur’an tidak terlepas dari perspektif mufassirnya. Cultural
background, prejudice yang melatarbelakanginya yang oleh Amina Wadud
disebut prir text,
sehingga tidak mengherankan meskipun teks itu tunggal, jika dibaca oleh
beberapa orang hasilnya akan bervariasi, terkait dengan ini Wadud dengan tegas
mengatakan: Although ear reading is unique, the understansing of various
readers of single text will converge of many points” Menurut Wadud hal ini
terjadi karena selama ini tidak ada metode tafsir yang benar-benar obyektif.
Untuk memperoleh penafsiran yang relatif obyektif Wadud menawarkan untuk
kembali ke prinsip-prinsip dasar dalam al-Qur’an sebagai kerangka paradigmanya
yang lebih lanjut Wadud juga mensyaratkan perlunya seorang mufassir memahami weltanschauung
atau world view.
Suatu metodologi yang dipinjamnya dari Fazlur Rahman.
Setelah melontarkan kritik terhadap pendekatan atomistik
tafsir tradisional. Ia menawarkan metode tafsir tauhid untuk menegaskan betapa
kesatuan al-Qur’an merambah seluruh bagiannya. Tujuan dari metode tafsir ini
adalah untuk menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular
dalam al-Qur’an. Al-Qur’an berusaha menetapkan dasar pedoman moral yang
universal. Tentu saja kondisi jazirah Arab abad ke-7 melatarbelakangi al-Qur’an
dan tujuan bimbingannya yang universal. Pada
dasarnya yang diinginkan Amina Wadud adalah bagaimana menangkap spirit
Al-Qur’an secara utuh, holistik dan integral. Jadi, jangan sampai sebuah
penafsiran itu terjebak kepada teks-teks yang bersifat parsial dan legal formal,
tapi lebih ditekankan bagaimana menangkap keseluruhan ide dan spirit (ruh) yang
ada di balik teks. Sebab problem penafsiran Al-Qur’an sesungguhnya adalah
bagaimana memahami teks Al-Qur’an (nass) yang terbatas dengan konteks
yang tak terbatas. Lebih-lebih dalam waktu yang bersamaan kita ingin menjadikan
Al-Qur’an selalu relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Metode tafsir tauhid perspektif Amina Wadud ini merupakan
salah satu bentuk metode penafsiran yang di dalam pengoperasiannya dimaksudkan
untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks atau ayat. Dalam metode tersebut
seorang mufassir harus selalu menghubungkan tiga aspek yaitu (1) Dalam konteks
apa teks itu ditulis. Jika kaitannya dengan Al-Qur’an, maka dalam konteks apa
ayat ini diturunkan, (2) Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut,
bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya, (3) Bagaimana keseluruhan
teks (ayat), Weltanschauung-nya atau pandangan hidupnya
Sebagai langkah teknis ketika menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, ketiga prinsip tersebut dapat dielaborasi lebih lanjut sebagai
berikut, yaitu setiap ayat yang hendak ditafsirkan dianalis (1) Dalam
konteksnya; (2) Dalam konteks pembahasan topik yang sama dalam Al-Qur’an; (3)
Menganalisa bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan di seluruh
bagian Al-Qur’an; (4) Bersikap benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip
Al-Qur’an; (5) Menurut konteks Weltanschauung Al-Qur’an atau pandangan
dunianya.Walaupun model penafsiran ini diklain “baru”, tapi dengan penuh kejujuran,
akhirnya Wadud mengakui bahwa ia terinspirasi dan bahkan sengaja meminjam
metode yang ditawarkan Rahman. Dengan jujur dikatakan “thus, I attempt to
use the method of Qur’anic interpretation proposed by Fazlur Rahman”.
Menurut Wadud, mufassir harus dapat menangkap
prinsip-prinsip fundamental yang tak dapat berubah dalam teks Al-Qur’an itu
sendiri, lalu penafsir melakukan refleksi yang unik untuk melakukan kreasi
penafsiran sesuai dengan setting sosio-kultural masyarakat zamannya.
Lebih lanjut Wadud menandaskan penafsiran itu sesungguhnya tidak hanya memahami
teks, tapi juga memproduksi makna teks. Model penafsiran ini nampaknya mirip
dengan Hermeneutika Gadamer yang ingin meniscayakan interpreter bukan saja
mampu memahami teks tapi lebih lanjut juga sebagai komponen rekonstruksi sosial
(Social Creation). Dengan begitu, maka teks itu menjadi “hidup” dan kaya
akan makna. Teks itu akan menjadi dinamis pemaknaannya dan selalu kontekstual,
seiring dengan akselerasi perkembangan budaya dan peradaban manusia.
The Origins of the Human Kind dan Kesetaraan Laki-laki-Perempuan
Dalam diskursus feminisme, konsep penciptaan perempuan
merupakan isu yang sangat penting dan mendasar untuk dibicarakan sebab konsep
kesetaraan (al-musawah/equality) atau tidak kesetaraan dapat dilacak
akarnya dari konsep penciptaan perempuan. Dalam pembahasan mengenai kesetaraan
ini, Wadud menarik ke akar teologis permasalahannya, yakni pada asal usul
penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan QS. Al-Nisa (4) dan QS. Ar-Rum
(30:2). Dalam hal ini yang menjadi obyek analisis Wadud adalah kata min,
nafs wahidah dan kata zawj.
Kata min dalam gramatika bahasa Arab setidaknya
mempunyai dua fungsi, selain digunakan untuk kata depan ‘from’ dalam
bahasa Inggris yang menunjukkan arti penarikan sesuatu hal dari hal-hal lain.
Juga dapat digunakan untuk menunjukkan “arti dari sifat yang sama dengan”.
Namun mufassir klasik menjatuhkan pilihan pada makna ‘from’. Padahal
dalam ayat lain yang semisal (baca QS Al-Rum (30): 21 dan Al-Taubah (9): 128)
ketika disebut min dan nafs min itu diartikan “dari jenis-jenis yang sama” (min
al-jinsiyah).
Menurut Wadud kata nafs menunjukkan asal-usul
semua manusia secara umum. Dalam versi Al-Qur’an asal-usul manusia tidak
dinyatakan dalam istilah jenis kelamin dan Al-Qur’an juga tidak pernah
menyatakan bahwa Allah memula penciptaan manusia dengan nafs dalam arti Adam.
Pendapat Wadud ini didasarkan pada analisis linguistiknya terhadap kata nafs,
yang menurut tinjauan tata bahasa, nafs adalah feminim (muannath majazi).
Dan menurut konsepsi, nafs tidak maskulin maupun feminim dan menjadi
bagian esensi dari setiap orang laki-laki atau wanita. Berdasarkan analisis ini
dengan tegas Wadud menyatakan: “The Qur’anic version of creation of human
kind is nor expressed in gender term.
Demikian pula kata zawj, sesungguhnya bersifat
netral, karena secara konseptual kebahasaan juga tidak menunjukkan bentuk mu’annath
(feminim) atau mudzakkar (maskulin). Kata zawj yang jamaknya azwaj
ini juga sering digunakan untuk menyebut tanaman (QS. 55-52) dan hewan (QS. Hud
(11): 40) disamping untuk manusia. Pertanyaannya adalah mengapa para mufassir
jatuh pada pilihan menafsirkan kata zawj dengan istrinya, yaitu hawa
yang berjenis kelamin perempuan? ternyata menurut Amina Wadud, para mufassir
seperti Al-Zamakhshari dan lainnya, melakukan hal itu karena berdasar pada
bibel. Dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan Amina Wadud, karena sesungguhnya
telah ditemukan hadits shahih secara metodologis yang menjadi dasar para
mufassir untuk menafsirkan kata nafs wahidah dengan Adam, dan zawj
dengan hawa. Memang hadith tersebut sering dipertanyakan keabsahannya oleh
sebagian ulama, termasuk para feminis, seperti Riffat Hassan dan Amina Wadud.
Yang jelas sepengetahuan penulis, para ulama tidak merujuk pada Bibel ketika
menafsirkan (QS. Al-Nisa’ (4): 1), mengenai fenomena pasangan (azwaj)
dalam penciptaan manusia. Hal ini menurutnya sesuai dengan Weltanschauung
al-Qur’an yakni prinsip tauhid (keesaan Allah). Al-Qur’an menyatakan
bahwa segala sesuatu itu diciptakan berpasangan, sedangkan Dia yang menciptakan
tidaklah berpasangan, sang pencipta hanya satu.
Khotimah
Implikasi teoritis dari fenomena pasangan ini (aswaj)
dalam penciptaan manusia bahwa antara laki-laki dan perempuan hendaknya saling
melengkapi dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Keduanya harus
dipandang secara equal (musawah) dan dalam hubungan fungsional, bukan struktural.
Karena jika dilihat secara struktur akan cenderung melahirkan budaya sub
ordinasi. Laki-laki dan perempuan ibaratnya dua sayap burung merpati yang
keduanya harus berfungsi menggerakkan tubuh burung tersebut agar dapat terbang
meluncur dengan lancar. Jika salah satu sayapnya patah atau sengaja dipatahkan,
maka burung itu tidak akan bisa terbang baik, karena kehilangan keseimbangan.
Itulah makna balancing power dan eksistensi perempuan bagi laki-laki,
jadi laki-laki dan perempuan merupakan co-existence dan pro existence #