Dr. H. Hefni
Zain, S.Ag, MM
Di pentas
sejarah, keberadaan kaum perempuan dalam mengambil peran intelektual diantara
kaum laki-laki adalah benar-benar nyata adanya, keterlibatan mereka dalam
khazanah intelektual Islam, terutama dalam bidang hadits, fiqh dan tasawuf
adalah fakta yang tak terbantahkan. Mereka telah berjasa besar dan memainkan
peran penting dalam pengembangan keilmuan Islam. Tidak itu saja, dalam konteks
sosialpun, ulama perempuan sebagaimana juga ulama pria telah ikut berkontribusi
yang tidak sedikit dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama dari problem
kebodohan dan keterbelakangan.
Ketika Nabi saw masih hidup,
perempuan dan laki-laki berjalan setara. Kaum perempuan biasa keluar masuk
rumah dan masjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi saw sebagaimana halnya
laki-laki. Hasilnya bermunculan ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah ra
yang tidak kalah hebatnya dibanding ulama laki-laki. Pernah suatu saat beberapa
sahabat Muslimah menemui Nabi saw, mereka “memprotes” banyaknya kesempatan
akses bagi Muslim laki-laki untuk bisa beribadah dan berprestasi. Mendapat
pertanyaan seperti itu, Allah swt menurunkan wahyunya kepada Nabi saw
sebagaimana tertuang dalam surat al-Ahzab ayat 35 yang mensejajarkan peluang
dan akses antara kaum perempuan dan laki-laki.
Tidak berhenti disitu, saat Nabi saw
melaksanakan haji wada’ pada tahun ke-9 H, dengan tegas beliau mengumandangkan
pesan-pesan kesetaraanya. Beliau bersabda “Wahai manusia sesungguhnya perempuan
memiliki hak terhadap laki-laki dan juga laki-laki memiliki hak yang sama
dengan perempuan, Sesungguhnya perempuan itu adalah kawan bagi kaum laki-laki,
sekali-kali tidaklah kaum laki-laki memiliki hak sedikitpun terhadap kaum
perempuan, (kecuali) jika kalian meminta mereka dengan amanah Allah (nikah).
Setelah berpesan seperti itu, Nabi saw kemudian melanjutkan pesannya bahwa kaum
Muslim Laki-laki dan Perempuan adalah bersaudara, dan Nabi secara tegas
menyatakan bahwa sesungguhnya umat manusia dihadapan Allah swt adalah sama,
yang membedakan hanyalah kadar ketaqwaannya.
Bahkan dalam sebuah riwayat
ditegaskan : wanita itu adalah tiang negara, apabila wanitanya baik maka baik
pula negara itu, dan bila wanitanya rusak, maka rusak pula negara itu. Dari riwayat
ini jelas tergambar bahwa kaum perempuan menempati posisi sentral dalam
kehidupan. Eksistensi dan perannya diklaim dapat menentukan baik dan buruknya
sebuah negara. Karena itu pantas jika konvensi PBB tahun 1979 menegaskan
pentingnya persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan dengan cara menghilangkan
diskrimininasi terhadap kaum perempuan disemua bidang kehidupan demi
tercapainya kesejahteraan negara dan perdamaian dunia, yang kemudian
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi undang- undang nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Dengan demikian
sesungguhnya urgensi perempuan dalam proses pembangunan tidak saja mendapat
legitimasi lokal, tapi juga regional dan internasional. Hal tersebut dapat
dilihat pada sidang umum PBB tahun 1979 yang mengeluarkan resolusi tentang
pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan internasional, ini juga
tercermin dalam strategi pembangunan internasional PBB baik yang pertama tahun
1961-1970, kedua tahun 1971-1980 maupun
yang ketiga tahun 1981-1990 .
Mengingat posisi dan peranan
perempuan sangat sentral dalam kehidupan, maka semua pihak musti memberikan
space yang lebih luas bagi mereka. Pemberdayaan perempuan, pertama-tama harus
dimulai dari paradigma yang memandang perempuan sebagai pribadi mandiri dan
sumber insani yang mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk mengembangkan potensinya melalui partisipasi aktif disemua
bidang pembangunan mulai dari tingkat pelaksana sampai tingkat pengambilan
keputusan. Paradigma ini memuat beberapa esensi, pertama kaum perempuan
mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan
yang sama dengan laki-laki disemua bidang kehidupan. Kedua, pengakuan
terhadap kodrat dan harkat kaum
perempuan yang perlu dijunjung tinggi. Ketiga, perlunya peningkatan kualitas
kompetensi kaum perempuan, Dan Keempat, perlunya pengembangan iklim sosial
budaya yang menopang kemajuan kaum perempuan.
Namun begitu, kendati
dentum kesetaraan telah diledakkan, tetapi keadilan peran bagi kaum perempuan
belum sepenuhnya terwujud. Banyak perempuan mengalami peran ganda dalam wilayah
domestik dan publik. Banyak pula perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah
tangga, seperti cerai, perselingkuhan, dan pemukulan. Sekali lagi, kesetaraan
gender belum terjadi. Hal ini dapat ditelusuri dari : (1) angka partisipasi
perempuan dalam ranah publik masih sangat minim terutama bila dibandingkan
dengan populasi mereka. (2) Terjadinya marginalisasi kaum perempuan dari
sumber-sumber informasi.(3)Terjadinya sub ordinasi yakni menempatkan kaum
perempuan sebagai second choice. (4) Terjadinya Streotyping Burden yaitu
pembelaan terhadap perempuan hanya menyangkut soal-soal domistik, dan (5)
Terjadinya veolence dalam berbagai bentuknya.
Bahkan kendati
secara dejure telah terdapat pengakuan akan vitalnya kedudukan kaum perempuan,
namun secara defacto, perempuan masih
diposisikan minor dan dipandang nigatif oleh struktur budaya, politik dan
peradaban. Mereka didefinisikan sebagai mahluk lemah baik secara fisik maupun
fsikis, citra tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada setiap
generasi. Dari proses budaya historis yang demikian, kemudian masyarakat
memberikan lebel dan perlakuan yang khusus bagi perempuan yang pada umumnya
merugikan kaum perempuan, stigma dan pencitraan perempuan dengan bebagai aspek
negatifnya tersebut akhirnya menghegemoni di masyarakat sejalan dengan langgam
sejarah manusia karena terus diperkokoh melalui tafsir budaya, kuasa dan agama.
Tak terkecuali
dalam diskursus keislaman, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai second
class, sehingga acapkali termarjinalkan, terutama untuk memegang posisi sebagai
penafsir agama. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada pengakuan publik
terhadap ketokohan mereka menjadi setengah hati. Padahal secara empirik ditengah
komunitas masyarakat terdapat sejumlah perempuan yang dikenal keilmuan,
ketokohan dan pengabdiannya serta diakui luas oleh publik akan kontribusinya
bagi pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan secara individu sebagai
pendidik, penyuluh dan da’iyah maupun melalui berbagai aktivitas organisasi
sosial keagamaan.
Atas
dasar itulah, beberapa pihak memandang perlu kesepakatan sosial baru untuk
menegaskan kembali konstruk kedudukan
perempuan ditengah dunia laki-laki, posisi ruang gerak dan hak-hak kaum perempuan, tugas dan tanggung jawab perempuan dalam
kajian dan gerakan keislaman serta peranan
perempuan dalam pembangunan. Pemberdayaan perempuan setidaknya bertolak dari
dua prinsip dasar, yakni : Pertama, bahwa kaum perempuan perlu diterima dan
dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang, Kedua,
Stigma bahwa perempuan adalah mahluk lemah, emosional, tidak kompeten, tidak
mandiri dan nigatif lainnya sesungguhnya hanyalah konstruk budaya yang tidak
adil dan perlu dimbangi oleh gambaran tentang perempuan yang cerdas, mandiri,
sukses dan ciri lain yang positif.