Pengertian & LB lahirnya Aswaja
Secara sederhana,
Ahlus sunnah wal jama’ah dapat dirumuskan sebagai “Ma ana alaihi wa ashabi”,
yaitu sebuah metode berfikir, paradigma dan pola laku yang berpegang teguh pada
ajaran Islam sebagaimana dipraktekkan
Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Rumusan ini merujuk pada hadits Nabi saw, antara lain :
ستفترق ا متي على ثلا ث و سبعــين فرقة كلهم فى
النا ر ا لا و ا حد ة
قيل من هي يا رســـــــــو ل الله قال
ما ا نا علــــــــــــــــيه و ا صحا بى
(رواه ترمو ذي)
“Akan berselisih umatku sebanyak 73
golongan, Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan. sahabat
bertanya, siapa golongan yang satu itu ya
Rasulullah ? Beliau menjawab : Orang
orang yang berpegang teguh pada ajaranku dan para sahabatku (HR. Turmudzi).
Hadits diatas menunjukkan bahwa sebagai
nilai, sesungguhnya Aswaja sudah
ada sejak Nabi saw masih hidup. Tetapi
sebagai lembaga dan gerakan, ia
baru muncul pada abad ke 3 hijriyah
sebagai reaksi -lebih tepatnya- sebagai gerakan rekonsiliatif
dan kompromistis atas pelbagai konflik
politis, ideologis dan teologis antar kelompok Islam yang saat itu benturannya
sangat tajam antara kelompok yang satu dengan yang lain.
Seperti diketahui, pasca wafatnya Rasululloh
saw, sebagian kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam tiga kelompok politis
yakni Khawarij, Syi’ah, dan Muawiyyin. Konfrontasi politis tiga kelopok
besar ini terus memanas hingga merembet pada soal teologis, dan jauh setelah
itu muncul lagi berbagai kelompok kalam yang satu sama lain berbeda pandangan
dalam banyak hal, terutama menyangkut soal-soal ketuhanan dengan segala
bentuknya, mereka adalah : Murji’ah, Qodariyah, Jabariyah, Mu’tazilah,
Jahamiyah, Najariyah dan Musabbihah.
Dengan
adanya perbedaan pandangan yang sulit ketemu diantara mereka tentu berpengaruh
besar terhadap pemahaman keagamaan sebagian kaum muslimin,
apalagi untuk mempertahankan
persepsinya masing-masing, ada yang mulai berani melakukan penyimpangan dengan
cara membuat hadits palsu, hal tersebut membuat umat kebingunan dalam
mengamalkan agamanya. Ditambah
lagi dengan pelbagai penyimpangan yang cukup serius akibat akses filsafat dan
budaya diluar islam. Inilah yang oleh ahli sejarah disebut “al fitnatul qubra”
(prahara besar). Melihat realitas ini Abul Hasan Asy’ari dan Abu Mansur Maturidy memandang perlu
mempopulerkan kembali gerakan Asawaja untuk menyerukan agar kaum muslimin kembali kepada keutuhan persatuan (inna hadzihi ummatukum ummatan wahidah).
Prinsip
dasar Aswaja
Sebagai gerakan yang
ingin netral dari berbagai bentuk pemihakan, maka ajaran aswaja adalah ajaran
pemersatu, perdamaian dan kompromi. Ia tampil dengan prinsip jalan tengah (ummatan
wasatan) agar dapat mengakomodir
berbagai kepentingan yang beragam. Karena itu prinsip yang dikembangkan
seluruhnya mengacu pada orientasi dimaksud, Seperti : Tawasuth (jalan
tengah /netral), Tawazun (keseimbngan dan harmonisasi), Tatsamuh
(toleran terhadap perbedaan), I’tidal (adil, tegak lurus dan tidak
ekstrim), iqtisod (sederhana dan tidak berlebihan) dan amr am’ruf
nahi mungkar (konsisten dalam menegakkan yang haq dan mencegah yang bathil).
Dengan prinsip prinsip tersebut, dapat dilihat bahwa aswaja
merupakan sentesa dari berbagai faham islam yang ada. Ia berdiri
diantara gerakan islam simbolis dan
substansialis, antara gerakan islam normatif tekstualis dan rasional
kontekstualis, antara gerakan islam leberalis dan fundamentalis. Begitu
seterusnya. Aswaja mengembangkan metode moderat
dan konvergensi yang berusaha
memahami berbagai kontrdiksi ekstrimis secara berimbang. Sehingga dalam
banyak hal kita lihat manefestasinya sebagai berikut :
1.
Dalam hal
aqidah, Akal dan Naqal diterapkan secara seimbang, karena keduanya
dianggap sama sama urgen dalam aqidah islam.
2.
Dalam
bidang Syari’ah, kaum sunni berlaku seimbang antara kepentingan dunuiawi dan
kepentingan ukhrawi, seimbang antara ketaqwaan individu spiritual dan ketaqwaan
sosial intelektual, seimbang antara proses pencerahan rasional dengan proses pembeningan emosional.
3.
Dalam
Bidang akhlaq, kaum sunni selalu berposisi diantara dua ujung tathorruf, mereka
tidak takabbur (Over self Confidence) dan tidak Tadzallul (terlalu
rendah diri), tidak tathawwur (berani yang sembrono) dan tidak pula al jubn
(penakut). Intinya mereka selalu berusaha netral dipersimpangan ekstrimitas.
Dengan
prinsip Tawasuth, Tawazun, Tatsamuh. Iqtisod, I’tidal dan amar ma’ruf nahi
munkar, sesungguhnya dapat dimaknai bahwa Aswaja secara sistematis telah
mengembangkan dengan sungguh-sungguh sebuah cara beragama yang “al hanifiyyah al samhah” yaitu
cara beragama yang lapang dan terbuka. Artinya dangan berbagai prinsip diatas,
Aswaja telah menegaskan diri sebagai manhaj
fikr yang inklusif dan toleran terhadap yang lain.
Bagi sunni
kemajemukan adalah sunnatulloh. Karena itu perbedaan pendapat tidak perlu
menimbulkan kegusaran, justru harus dijadikan motivasi untuk fastabiqul
khoirat, karena Tuhanlah yang akan menjelaskan kenapa manusia berbeda
4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$#
Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Yang
diperlukan dalam kerangka ini adalah kalimah
sawa’ (pencarian titik temu) dan ini berarti harus memulai mengembangkan
budaya kritis dan budaya dialog, guna memperoleh wawasan baru untuk bersama
sama meningkatkan kemampuannya dalam menjawab persoalan persoalan kemanusiaan.
Aswaja sebagai Manhaj al fikr
Pada awalnya semua firqoh
dalam islam adalah manhaj bukan manzhab, lalu campur tangan penguasa politiklah
(baca : pemerintah) yang merubah
orientasi manhaj al fikr menjadi manzhab yang terlembaga. Dengan kata
lain dukungan politik pemerintah mempunyai kontribusi signifikan terhadap pelembagaan
pemikiran firqoh dalam islam.
Sebagai
contoh, adalah Yazid bin walid (bani umayyah) 125-126 H, al Makmun,
Harun al Rasyid (bani Abbasiyah) 198-218 H, al Mu’tasim (bani Abbasiyah)
218-227 H dan al Watsiq (bani Abbasiyah)
227 – 232 H adalah penguasa-penguasa yang
monsosialisasi dan bahkan mewajibkan faham Mu’tazilah sebagai faham resmi
negara. Semua yang menolak faham Mu’tazilah pada saat itu dianggap telah
melakukan subversi dan makar, sehingga ditangkapi, dipenjarakan bahkan ada yang
dibunuh.
Lalu
setelah al Mutawakkil berkuasa (bani Abbasiyah) 232-486 H, ajaran mu’tazilah
dilikuidasi sebagai faham resmi negara dan digantikan oleh faham aswaja.Demikian
juga ketika bani Fatimiyah berkuasa, faham Syi’ah yang dijadikan faham resmi
negara, baru setelah Salahuddin al Ayyubi berkuasa faham syi’ah dugusur dan digantikan dengan
faham aswaja.
Meski
logika penggantian itu, karena aswaja dinilai sebagai ajaran iqtisody yang
memberikan peluang untuk berbeda dalam ideologi, tetapi jelas bahwa faktor
campur tangan penguasa telah memberikan andil besar bagi bergesernya Aswaja
dari manhaj al fikr menjadi manzhab yang establish.
Khotimah
Kaum
Sunni yang sejak awal telah bertekad untuk berpegang teguh pada ajaran islam
sebagaimana diajarkan Nabi saw dan sahabatnya, hingga kini
tetap konsisten dengan prinsip prinsip dasarnya, apapun
resikonya. Karena itu kesunnian seseorang tentu saja bukan
diukur oleh fasihnya ia mengucapkan Wallohul muwafiq ila aqwamitthoriq,
melainkan lebih diukur oleh sejauhmana konsistensinya berpegang pada prinsip
dasarnya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar