Sekiranya Allah swt
menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Qs. 5:48).
Pendahuluan
Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar dan masyhur
pengarang kitab “Matsnawi”, pernah berkisah mengenai orang-orang India
yang berupaya menebak sosok seekor gajah dalam kegelap gulitaan. Karena
mustahil bagi mereka menggunakan indra penglihatan, mereka kemudian hanya
menggunakan indra peraba dengan telapak tangan masing-masing. Orang pertama
ketika meraba menyetuh belalai gajah, ia
kemudian bekata bahwa gajah laksana pipa air. Orang kedua menyentuh telinga
gajah, lalu bependapat bahwa binatang itu seperti sebuah kipas, orang ketiga
mengenai kaki gajah, sehingga gajah
tersebut baginya seperti pilar, Orang keempat mengenai punggung gajah dan
spontanitas berpendapat bahwa gajah itu bagaikan sebuah singgasana. Tidak lama
kemudian salah seorang diantara mereka mengambil lampu yang terang benderang,
kini segalanya menjadi jelas, akhirnya mereka menyadari bahwa kendati pendapat
mereka tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak seluruhnya benar.
Kisah diatas sengaja dikutip untuk menggambarkan kecenderungan
umum yang terjadi dikalangan kaum muslimin dalam menghampiri atau memahami
agamanya. Sebagian dari mereka menekankan pada dimensi intelektual,
untuk menjustifikasi kecenderungan ini mereka tak jarang memfosir sejumlah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits.
Sebagian lagi mempunyai kecenderungan pada dimensi mistikal, seperti kelompok
sebelumnya, mereka juga sibuk mencari berbagai dalil sebagai pembenar. Baginya yang terpenting adalah dzikrullah. Ada juga yang lebih
tertarik pada dimensi sosial Islam. Fokus mereka adalah bagaimana menerjemahkan Islam kedalam realitas sosial
praktis, sehingga menurut kelompok ini Islam harus menjadi kekuatan pembebas (liberating force) kaum muslimin dari
berbagai belenggu yang membelitnya, seperti: kebodohan, kemiskinan, depresi,
ketidak adilan, ketertindasan, dsb. Bagi mereka kalau ada Islam teoritis harus ada Islam praktis, kalau ada Islam konseptual,
maka harus ada juga Islam aktual. Kecuali itu, ada lagi sebagian yang beragama lebih menitik beratkan pada
dimensi ritual, dan agaknya, golongan inilah yang terbesar di banding lainnya, bahkan
diantara merekapun terbelah kedalam berbagai mazhab pemikiran yang berbeda.
Keanekaragaman diatas
mengingatkan kita pada usaha putra-putri Nabi Ya’qub as tatkala mereka mencari saudaranya yang bernama
Yusuf. Mereka memasuki negeri Mesir melalui pintu gerbang yang berbeda dan berlainan sesuai dengan petunjuk
ayahnya “Wahai... putra-putriku! Janganlah kamu
(bersama-sama)
masuk dari satu pintu gerbang. Tetapi masuklah dari pintu-pintu gerbang yang
berlainan.”(Qs.12:67).
Pluralitas dan keanekaragaman seperti ini, sesungguhnya tidak perlu
dirisaukan sepanjang hal itu dipandang sebagai proses yang terus-menerus dan berkesinambungan menuju pemahaman
Islam yang lebih kaffah. Masalahnya akan menjadi lain, jika masing-masing
kelompok kecenderungan itu secara sepihak menganggap bahwa dirinya atau
kelompoknyalah yang paling benar dan orang lain atau kelompok lain dianggap
salah, sesat dan tidak berhak mendapatkan sorga, maka jika itu yang terjadi
tidak ada bedanya kita dengan kaum Yahudi atau Nasrani, sebagaimana dilukiskan Qs. 2 : 113
”Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak
mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata:
"Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka
(sama-sama) membaca Al Kitab. demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui,
mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka
pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.
Oleh karena itu Al-Qur’an menggambarkan”orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi
bergolong-golongan adalah termasuk kategori musyrik. Yang dimaksud memecah belah agama dalam konteks ini bukan tumbuhnya
berbagai aliran atau manhaj al fikr dalam Islam, melainkan permutlakan faham
atau mazhabya sendiri sebagai yang paling benar sehingga yang lain dianggap
sesat dan harus dibasmi, dari sinilah lalu timbul iftiraq (perpecahan).
Memasuki agama dari berbagai pintu
Banyak jalan menuju roma, dan setiap jalan memiliki standart kebenaran (language game) sendiri-sendiri, oleh karena
itu tidak bisa seseorang menganggap hanya
jalan dirinya yang memiliki kebenaran,
sementara jalan orang lain salah samua. Sebagai umat Islam, tentu kita tidak ingin seperti
kaum yahudi
atau kaum nasrani
yang disindir bahkan dikecam Al-qur’an sebagai kaum yang terus berselisih padahal mereka
sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama-sama bersumber dari Allah swt. Maka
agar kita tidak terjebak dalam ekslusifisme destruktif semisal kaum yahudi dan
nasrani diatas, ada baiknya jika masing-masing pihak menyadari sepenuhnya bahwa
pemahamannya tentang Islam belumlah sempurna dan bersifat relatif. Yang absolut hanyalah Islam pada tataran langit atau wahyu, sementara
interpretasi terhadap Islam (tataran bumi) adalah bersifat relatif.
Janganlah satu golongan merendahkan yang lain karena bisa jadi yang
direndahkan itu justru lebih baik dari yang merendahkan (Qs. 49 : 11), karenanya kita harus
bersedia dengan kesadaran penuh untuk menerima kelompok lain yang berbeda
sebagai sebuah realitas dan kemestian. Perbedaan tidak serta merta dijadikan
alasan untuk saling berpecah belah dan bermusuhan. Justru sebaiknya dengan perbedaan, akan muncul ketegangan kreatif yang
pada akhirnya akan memotivisir kita untuk berlomba-lomba menuju berbagai
kebaikan.
Ada tiga sikap yang harus dikembangkan dalam menghadapi perbedaan :
1. Akseptasi (kesediaan menerima keberadaan dan kehadiran mazhab pemikiran
lain). 2. Apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan
yang ketiga. 3. adalah ko eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara
damai dengan kelompok muslim manapun atau bahkan dengan kelompok non muslim). Hal ini
sangat penting, mengingat keanekaragaman yang ada hanyalah keanekaragaman ‘jalan’. Sedangkan yang dituju adalah sama dan satu yakni : keridhaan Allah swt semata.
Persatuan dalam keseragaman : sebuah
ilusi
Sejarah Islam telah
mencatat bahwa perbedaan dalam menafsirkan Islam sudah berlangsung hanya sesaat setelah Rasulullah saw wafat dan terus berlangsung hingga hari ini. Itu
artinya, bahwa Islam sebagaimana ditunjukkan oleh sejarahnya adalah
berwarna. Telah berabad-abad seiring menyebarnya Islam ke berbagai pelosok dunia, kita menyaksikan pemahaman Islam yang
demikian beragam. Dalam bidang aqidan
dan teologi terdapat puluhan firqoh dan sekte, dalam bidang syariah dan fiqh
terdapat puluhan mazhab, juga dalam bidang akhlaq tasawwuf terdapat puluhan
tariqoh dan aliran. Namun demikian, bukan berarti
masing-masing firqoh, mazhab dan aliran tidak bisa bekerjasama atau bersatu. Persatuan tidak harus dimaknai sebagai keseragaman,
lebih-lebih dalam masyarakat majmuk yang multi ideologi dan multi kultur.
Hari ini mendambakan persatuan dalam arti
keseragaman adalah ilusi dan isapan jempol, persatuan hanya betul-betul terjadi
dalam arti keberagaman melalui kesediaan menerima
ambiguitas manusia. Artinya, kita mempercayai sesuatu yang mutlak, tetapi pada
saat yang sama mentoleransi kemungkinan orang lain
mempercayai kemutlakan berbeda." Menerima kemutlakan sekaligus mengakui
relativitas adalah keniscayaan dalam beragama seraya bisa hidup berdampingan secara damai
dengan kelompok lain.
Memaksakan "satu pemahaman
Islam" kepada semua penganut Islam, tentulah menyalahi watak toleransi
Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap "satu model pemahaman" hanya
mungkin dilakukan lewat pemaksaan, kekerasan, penindasan atau bahkan senjata,
dan itu menyalahi konsep dasar Islam tentang "tidak ada paksaan dalam beragama".
Jangankan dalam beragama,
dalam konteks bernegara saja jargon persatuan telah berulangkali menjadi sarana
untuk menindas. Pada zaman demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno yang terobsesi dengan
persatuan telah menjadikan slogan "persatuan dan kesatuan" menjadi
dalih untuk memberangus partai politik. Begitu pula dengan Rezim Soeharto yang
memanfaatkan "asas tunggal Pancasila" untuk membungkam suara-suara
berbeda. Dan pada tahun-tahun terakhir, slogan yang sama dipakai pula oleh kelompok
nasionalis dan kelompok militer untuk menolak federalisme. Negeri kita
memang mengenal konsep "Bhinneka Tunggal Ika" atau "berbeda-beda
tetapi tetap satu". Namun dalam berbagai zaman, kita cenderung memakai
"ika" untuk memberangus "kebhinnekaan"; menggunakan keseragaman
untuk membunuh beragam aspirasi politik dan budaya. Seperti dalam agama,
penyeragaman interpretasi terhadap ideologi negara hanya dimungkinkan lewat pemaksaan,
penahanan, pembunuhan, dan penindasan budaya.
Persatuan bukanlah peleburan, dan sekali lagi persatuan
hakiki hanya mungkin berlangsung jika difahami dalam keberagamaan, yakni ketika
masing-masing pihak mengakui perbedaan seraya menyadari pentingnya bekerja sama
untuk mewujudkan kepentingan bersama. Bukanlah pelangi menjadi indah karena
beragam warna, dan ekosistem alam menjadi kuat karena dipelihara
oleh keragaman "spesies"-nya. Makin beragam spesies di dalamnya, makin
stabil ekosistem itu. Hutan tropis akan segera punah jika semua lumut dan
ganggang dipaksa menjadi pohon jati yang seragam. Hal serupa juga berlaku
untuk Islam, juga untuk Indonesia.
Kesadaran akan spektrum diatas pada gilirannya akan menghantarkan
kita pada satu tahap kedewasaan dengan lapang dada menerima keanekaragaman sebagai sunnatullah.
Keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the other) yang pada ujungnya selain
memberi arahan untuk membangun suatu sikap, etos dan
pandangan dunia yang egaliter guna membentuk satu horizon kehidupan yang
dilandaskan atas prinsip ko eksistensi (prinsip dsaling menghargai
keberadaan yang
lain), juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan dan
kebahagiaan hakiki. Maka mungkin anda benar dengan apa yang anda nyatakan. Tapi yang anda ingkari, kiranya perlu di fikirkan
kembali. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar