Rabu, 19 Februari 2014

BERAGAMA YANG INKLUSIF



Sekiranya  Allah swt menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji  kamu  terhadap  pemberianNya kepadamu,  maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah  kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu  perselisihkan itu. (Qs. 5:48).


Pendahuluan
Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar dan masyhur pengarang kitab “Matsnawi”, pernah berkisah mengenai orang-orang India yang berupaya menebak sosok seekor gajah dalam kegelap gulitaan. Karena mustahil bagi mereka menggunakan indra penglihatan, mereka kemudian hanya menggunakan indra peraba dengan telapak tangan masing-masing. Orang pertama ketika meraba  menyetuh belalai gajah, ia kemudian bekata bahwa gajah laksana pipa air. Orang kedua menyentuh telinga gajah, lalu bependapat bahwa binatang itu seperti sebuah kipas, orang ketiga mengenai  kaki gajah, sehingga gajah tersebut baginya seperti pilar, Orang keempat mengenai punggung gajah dan spontanitas berpendapat bahwa gajah itu bagaikan sebuah singgasana. Tidak lama kemudian salah seorang diantara mereka mengambil lampu yang terang benderang, kini segalanya menjadi jelas, akhirnya mereka menyadari bahwa kendati pendapat mereka tidak sepenuhnya salah tetapi juga tidak seluruhnya benar.
Kisah diatas sengaja dikutip untuk menggambarkan kecenderungan umum yang terjadi dikalangan kaum muslimin dalam menghampiri atau memahami agamanya. Sebagian dari mereka menekankan pada dimensi intelektual, untuk menjustifikasi kecenderungan ini mereka tak jarang memfosir sejumlah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits. Sebagian lagi mempunyai kecenderungan pada dimensi mistikal, seperti kelompok sebelumnya, mereka juga sibuk mencari berbagai dalil sebagai pembenar. Baginya yang terpenting adalah dzikrullah. Ada juga yang lebih tertarik pada dimensi sosial Islam. Fokus mereka adalah bagaimana menerjemahkan Islam kedalam realitas sosial praktis, sehingga menurut kelompok ini Islam harus menjadi kekuatan pembebas (liberating force) kaum muslimin dari berbagai belenggu yang membelitnya, seperti: kebodohan, kemiskinan, depresi, ketidak adilan, ketertindasan, dsb. Bagi mereka kalau ada Islam teoritis harus ada Islam praktis, kalau ada Islam konseptual, maka harus  ada juga Islam aktual. Kecuali itu, ada lagi sebagian yang beragama lebih menitik beratkan pada dimensi ritual, dan agaknya, golongan inilah yang terbesar di banding lainnya, bahkan diantara merekapun terbelah kedalam berbagai mazhab pemikiran yang berbeda.
Keanekaragaman diatas mengingatkan kita pada usaha putra-putri Nabi Ya’qub as tatkala mereka mencari saudaranya yang bernama Yusuf. Mereka memasuki negeri Mesir melalui pintu gerbang yang berbeda dan berlainan sesuai dengan petunjuk ayahnya “Wahai... putra-putriku! Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang. Tetapi masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan.”(Qs.12:67).
Pluralitas dan keanekaragaman seperti ini, sesungguhnya tidak perlu dirisaukan sepanjang hal itu dipandang sebagai proses yang terus-menerus dan berkesinambungan menuju pemahaman Islam yang lebih kaffah. Masalahnya akan menjadi lain, jika masing-masing kelompok kecenderungan itu secara sepihak menganggap bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar dan orang lain atau kelompok lain dianggap salah, sesat dan tidak berhak mendapatkan sorga, maka jika itu yang terjadi tidak ada bedanya kita dengan kaum Yahudi atau Nasrani, sebagaimana dilukiskan  Qs. 2 : 113  ”Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.
Oleh karena itu Al-Qur’an menggambarkan”orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan adalah termasuk kategori musyrik. Yang dimaksud memecah belah agama dalam konteks ini bukan tumbuhnya berbagai aliran atau manhaj al fikr dalam Islam, melainkan permutlakan faham atau mazhabya sendiri sebagai yang paling benar sehingga yang lain dianggap sesat dan harus dibasmi, dari sinilah lalu timbul iftiraq (perpecahan).

Memasuki agama dari berbagai pintu
Banyak jalan menuju roma, dan setiap jalan memiliki standart kebenaran (language game) sendiri-sendiri, oleh karena itu tidak bisa seseorang menganggap hanya jalan dirinya yang memiliki kebenaran, sementara jalan orang lain salah samua. Sebagai umat Islam, tentu kita tidak ingin seperti kaum yahudi atau kaum nasrani yang disindir bahkan dikecam  Al-qur’an sebagai kaum yang terus berselisih padahal mereka sama-sama merujuk pada kitab suci yang sama-sama bersumber dari Allah swt. Maka agar kita tidak terjebak dalam ekslusifisme destruktif semisal kaum yahudi dan nasrani diatas, ada baiknya jika masing-masing pihak menyadari sepenuhnya bahwa pemahamannya tentang Islam belumlah sempurna dan bersifat relatif. Yang absolut hanyalah Islam pada tataran langit atau wahyu, sementara interpretasi terhadap Islam (tataran bumi) adalah bersifat relatif.
Janganlah satu golongan merendahkan yang lain karena bisa jadi yang direndahkan itu justru lebih baik dari yang merendahkan (Qs. 49 : 11), karenanya kita harus bersedia dengan kesadaran penuh untuk menerima kelompok lain yang berbeda sebagai sebuah realitas dan kemestian. Perbedaan tidak serta merta dijadikan alasan untuk saling berpecah belah dan bermusuhan. Justru sebaiknya dengan  perbedaan, akan muncul ketegangan kreatif yang pada akhirnya akan memotivisir kita untuk berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan.
Ada tiga sikap yang harus dikembangkan dalam menghadapi perbedaan : 1. Akseptasi (kesediaan menerima keberadaan dan kehadiran mazhab pemikiran lain). 2. Apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan yang ketiga. 3. adalah ko eksistensi  (kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dengan kelompok muslim manapun atau bahkan dengan kelompok non muslim). Hal ini sangat penting, mengingat keanekaragaman yang ada hanyalah keanekaragaman ‘jalan’. Sedangkan yang dituju adalah sama dan satu yakni : keridhaan Allah swt semata.



Persatuan dalam keseragaman : sebuah ilusi
Sejarah Islam telah mencatat bahwa perbedaan dalam menafsirkan Islam sudah berlangsung hanya sesaat setelah Rasulullah saw wafat dan terus berlangsung hingga hari ini. Itu artinya, bahwa Islam sebagaimana ditunjukkan oleh sejarahnya adalah berwarna. Telah berabad-abad seiring menyebarnya Islam ke berbagai pelosok dunia, kita menyaksikan pemahaman Islam yang demikian beragam. Dalam bidang aqidan dan teologi terdapat puluhan firqoh dan sekte, dalam bidang syariah dan fiqh terdapat puluhan mazhab, juga dalam bidang akhlaq tasawwuf terdapat puluhan tariqoh dan aliran. Namun demikian, bukan berarti masing-masing firqoh, mazhab dan aliran tidak bisa bekerjasama atau bersatu.  Persatuan tidak harus dimaknai sebagai keseragaman, lebih-lebih dalam masyarakat majmuk yang multi ideologi dan multi kultur.
Hari ini mendambakan persatuan dalam arti keseragaman adalah ilusi dan isapan jempol, persatuan hanya betul-betul terjadi dalam arti keberagaman melalui kesediaan menerima ambiguitas manusia. Artinya, kita mempercayai sesuatu yang mutlak, tetapi pada saat yang sama mentoleransi kemungkinan orang lain mempercayai kemutlakan berbeda." Menerima kemutlakan sekaligus mengakui relativitas adalah keniscayaan dalam beragama seraya bisa hidup berdampingan secara damai dengan kelompok lain.
Memaksakan "satu pemahaman Islam" kepada semua penganut Islam, tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap  "satu model pemahaman" hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, kekerasan, penindasan atau bahkan senjata, dan itu menyalahi konsep dasar Islam tentang "tidak ada paksaan dalam beragama".
Jangankan dalam beragama, dalam konteks bernegara saja jargon persatuan telah berulangkali menjadi sarana untuk menindas. Pada zaman demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno yang terobsesi dengan persatuan telah menjadikan slogan "persatuan dan kesatuan" menjadi dalih untuk memberangus partai politik. Begitu pula dengan Rezim Soeharto yang memanfaatkan "asas tunggal Pancasila" untuk membungkam suara-suara berbeda. Dan pada tahun-tahun terakhir, slogan yang sama dipakai pula oleh kelompok nasionalis dan kelompok militer untuk menolak federalisme. Negeri kita memang mengenal konsep "Bhinneka Tunggal Ika" atau "berbeda-beda tetapi tetap satu". Namun dalam berbagai zaman, kita cenderung memakai "ika" untuk memberangus "kebhinnekaan"; menggunakan keseragaman untuk membunuh beragam aspirasi politik dan budaya. Seperti dalam agama, penyeragaman interpretasi terhadap ideologi negara hanya dimungkinkan lewat pemaksaan, penahanan, pembunuhan, dan penindasan budaya.
Persatuan bukanlah peleburan, dan sekali lagi persatuan hakiki hanya mungkin berlangsung jika difahami dalam keberagamaan, yakni ketika masing-masing pihak mengakui perbedaan seraya menyadari pentingnya bekerja sama untuk mewujudkan kepentingan bersama. Bukanlah pelangi menjadi indah karena beragam warna, dan ekosistem alam menjadi kuat karena dipelihara oleh keragaman "spesies"-nya. Makin beragam spesies di dalamnya, makin stabil ekosistem itu. Hutan tropis akan segera punah jika semua lumut dan ganggang dipaksa menjadi pohon jati yang seragam. Hal serupa juga berlaku untuk Islam,  juga untuk Indonesia.

Kesadaran akan spektrum diatas pada gilirannya akan menghantarkan kita pada satu tahap kedewasaan dengan lapang dada menerima keanekaragaman sebagai sunnatullah. Keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the other) yang pada ujungnya selain memberi arahan untuk membangun suatu sikap, etos dan  pandangan dunia yang egaliter guna membentuk satu horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip ko eksistensi (prinsip dsaling menghargai keberadaan yang lain), juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan dan kebahagiaan hakiki. Maka mungkin anda benar dengan apa yang anda nyatakan. Tapi yang anda ingkari, kiranya perlu di fikirkan kembali. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar