Kamis, 13 November 2014

KENAIKAN HARGA BBM Pilihan Kebijakan Nir Populis : Jamu atau Racun ?

Hefni  Zain

Isu Klasik
Di Indonesia diskursus mengenai kebijkan BBM merupakan isu klasik yang selalu diulang-ulang, pro kontranya di ulang-ulang, argumentasinya  di ulang-ulang, demonstrasi penolakannya juga diulang-ulang, penanganan terhadap demonstrasi juga diulang-ulang, termasuk anarkis dan ricuhnya juga diulang-ulang.
 Bagi yang pro, pngurangan atau bahkan pencabutan subsidi BBM diperlukan untuk membuka ruang fiskal yang lebih luas bagi program jaring pengaman sosial. Subsidi BBM dianggap salah sasaran sebab sebagian besar hanya dinikmati oleh kelas menengah atas. Dana tersebut akan lebih produktif jika digunakan untuk program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan seperti membangun infrastruktur transportasi, meningkatkan anggaran pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan semacamnya.
Subsidi BBM yang besar dipandang mengakibatkan ketergantungan pada energi fosil yang mahal sehingga energi murah tidak berkembang. Disparitas harga BBM domestik dan luar negeri juga cukup besar sehingga menimbulkan trend penyelundupan ke negara lain. Ditambah lagi kondisi pasar global dan fluktuasi atau naiknya harga minyak mentah dunia, nilai kurs rupiah yang terdepresiasi terhadap dollar, tingginya subsidi yang  membebani APBN sehingga menghambat pembangunan, untuk menyelamatkan APBN dan mengurangi defisit APBN, pengurangan subsidi dan menaikkan harga BBM merupakan suatu keniscayaan, Alasan klasik ini selalu diulang- ulang seperti copy paste.
Tetapi bagi yang kontra, semua argumentasi diatas ditolak, menurut mereka menaikan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak populis, tidak pro rakyat dan justru memicu resistensi bahkan anarkhisme di tengah masyarakat. Alasan membebani APBN adalah tidak benar, karena yang membebani APBN adalah bunga utang dalam negeri maupun luar negeri dan cicilannya yang mencapai Rp 221 triliun, terdiri dari pembayaran bunga utang sebesar Rp 154 triliun untuk cicilan pokok sebesar Rp 66,9 triliun. Utang pemerintah saat ini mencapai Rp 2.500 triliun
Alasan harga minyak mentah dunia juga tidak valid, sebab faktanya saat ini harga minyak berada pada posisi rendah yaitu US$ 83,72 Per Barel. Alasan subsidi sebagian besar dinikmati kelas menengah atas untuk keperluan konsumtif,  dinilai menyesatkan, pasalnya, banyak masyarakat yang kehidupan sehari-harinya memang bergantung pada BBM. Jutaan nelayan yang menggunakan BBM untuk cari ikan, Jutaan petani yang menggerakkan traktor mereka, Jutaan mahasiswa dan pelajar yang berangkat menggunakan kendaraan ke sekolah, Jutaan pengusaha kecil dan menengah menggunakan BBM untuk menggerakkan usaha mereka,  apa itu konsumtif? Kelompok ini bahkan menduga alasan sebenarnya pemerintah menaikkan BBM adalah karena memang pesanan dari kaum kapitalis sebagaimana tercantum dalam UU migas. Argumentasi penolakan yang demikian ini juga selalu diulang-ulang.  Karena itu, bagi saya  ini tidak menarik
Yang menarik adalah,  Jokowi ketika masih menjadi Wali Kota Solo menolak keras rencana Presiden SBY menaikkan harga BBM. Menurut Jokowi saat itu, warga masih menginginkan harga BBM yang murah. Silahkan tanya seluruh rakyat Indonesia tentang kenaikan harga BBM pasti tidak mau, mereka  inginnya yang murah," kata Jokowi sebagaimana diberitakan harian KR dan viva.co.id, Selasa, 27 Maret 2012. Anehnya, kini ketika menjadi presiden RI, Jokowi malah sangat getol menaikkan harga BBM. Alasannya, APBN terlalu banyak tersedot untuk subsidi BBM.
Ini baru menarik, karena selain menyangkut menajemen pola kepemimpinan gaya situasional, untuk tidak mengatakan plin-plan. Juga menyangkut filosofi kemanusiaan. Artinya kebijakan itu tergantung pada posisinya, yang dalam bahasa suroboyoan disebut Sikontol (situasi, kondisi dan toleransi). Disamping itu, kecenderungan mental semua orang adalah ingin sesuatu yang murah, bahkan kalau bisa gratis. Ingin dapat hasil banyak dengan kerja yang ringan. Doa kita juga mengharap rijeki bila ta’abin wala musyaqqoh. Mengharap hasil banyak dengan kerja yang sedikit, bahkan kalau bisa mengharap pahala dengan tidak beramal, atau bahkan berharap sorga sambil bermaksiat.
The care of the problemnya, sejatinya terletak pada chois dalam mengambil kebijakan. Ada tiga chois kebijakan: Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru. Menyelesaikan masalah tanpa solusi (Indonesia Lawak Klub),  atau menyelesaikan masalah tanpa masalah (jargon kantor penggadaian).

Perspektif   Ekonomi Islam
Kenaikan yang paling tidak disukai manusia memang kenaikan harga BBM. Kalau naik harga diri, naik pangkat, naik gaji, naik haji, naik popularitas, ataupun naik yang lain malah disukai.
Islam memandang; minyak dan gas merupakan hak milik umum, sebagaimana ditegaskan Nabi saw “Manusia bersyarikat (secara bersama memiliki) tiga hal: padang, air, dan api.” (HR Ahmad dan Abu Dawud). Karena milik umum, maka setiap orang, sama-sama berhak menikmatinya. Dan negara seharusnya mengelola semua itu dengan baik yang hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat secara adil., supaya harta itu tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu, … “ (Qs Al Hasyr  : 7)
Dalam perspektif ekonomi Islam, negara berkewajiban untuk menciptakan jaring pengaman sosial bagi masyarakatnya, dan subsidi bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan,. Tetapi subsidi dalam ekonomi Islam ditujukan bukan kepada obyek barangnya seperti yang terjadi pada BBM saat ini,  tetapi subsidi tersebut langsung ditujukan kepada orang yang membutuhkannya, sehingga tujuan subsidi yaitu membentuk jaring pengaman sosial dan menciptakan pemerataan pendapatan dapat berjalan tepat sasaran. Hal ini pernah dilakukan pada masa kejayaan Imperium Islam, pada masa kekhalifahan bani Umayah diriwayatkan bahwa khalifah Umar bin Abdul Azis bukan hanya bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan primer masyarakatnya seperti sandang, pangan dan papan, tetapi juga sampai memberikan memberikan pelayanan kepada orang-orang cacat dan bahkan memberikan bantuan keuangan untuk biaya pernikahan dan bantuan untuk menuaikan ibadah haji bagi masyarkatnya yang kurang mampu.
Kenaikan harga BBM sesungguhnya tidak terlalu bermasalah jika tidak diikuti  oleh naiknya harga komoditas dan barang-barang yang lain, apalagi tidak berbanding lurus dengan kenaikan kesejahteraan rakyat.
 Karena itu persoalan fundamentalnya, sesungguhnya bukan pada naik tidaknya harga BBM, atau mahal murahnya harga BBM,  tetapi pada mampu tidaknya rakyat jelata membelinya. Jadi harga BBM mau naik, mau turun, mau naik turun, mau turun naik, mau salto, mau akrobat, silahkan, yang penting  ada garansi kesejahteraan rakyat meningkat dan punya kemampuan membelinya. Kendati harga BBM, turun serendah-rendahnya tetapi rakyat jelata tidak mampu membelinya, itu problem. Sebaliknya meskipun harga BBM naik setinggi-tingginya, tetapi rakya mampu membelinya, itu no problem. Sekali lagi masalahnya adalah kapan rakyat jelata bisa segera disejahterakan ???,. Dan kartu  indonesia sejahtera, kartu  indonesia sehat, kartu indonesia pintar, kartu indonesia sakti, kartu indonesia hebat, atau kartu-kartu yang lain sangat tidak cukup untuk itu. Rakyat tidak butuh kartu, yang dibutuhkan rakyat pekerjaan, penghasilan yang cukup dan kemampuan menghidupi dirinya dan keluarganya dengan cara terhormat.

Butuh  Solusi  Tuntas
Mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM, bukan satu-satunya chois dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, banyak cara lain yang dapat dilakukan, mislanya :
1.        Mengoptimalkan produksi dan eksplorasi sumber daya alam yang melimpah.
Produksi batubara, misalnya, mencapai 421 juta ton tahun 2013. Jika harga produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp 250 triliun. Contoh lainnya tembaga. Pada tahun 2012, produksinya mencapai 2.4 juta ton. Biaya produksinya sebesar US$ 1,24 per pound dan harga jualnya sebesar US$3.6 per pound (Laporan Keuangan PT Freeport McMoran, 2013). Dengan demikian, potensi pendapatannya sebesar Rp 124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp 374 triliun. Sudah lebih dari cukup untuk menutupi belanja subsidi BBM yang nilainya mencapai Rp 291 triliun. Angka ini akan terus membesar jika komoditas tambang yang melimpah di negara ini ikut diperhitungkan seperti minyak bumi, gas, emas, nikel, timah, dan sebagainya. Sayang, pengelolaan tambang-tambang tersebut justru diserahkan kepada swasta termasuk asing. Dampaknya, Penerimaan negara dari sektor ini menjadi sangat minim dari semestinya. Pada RAPBN 2015 pendapatan Sumber Daya Alam migas dan non migas hanya sebesar Rp 207 triliun dan Rp 30 triliun.
2.      Penghapusan subsidi untuk pejabat.
Para pejabat tidak perlu dikasih rumah dan mobil dinas. Begitu pula berbagai tunjangan lainnya. Kalau Studi banding ke luar negeri, pakai uang sendiri. Jangan uang rakyat. Apalagi dipakai menginap di hotel mewah dengan uang saku berlimpah (Rp 2 juta/hari).
3.        Efisiensi belanja pemerintah dan Pencegahan Pemborosan Anggaran
Belanja pemerintah pusat berupa belanja kementerian dan lembaga yang menghabiskan 1/3 dari anggaran belanja negara ditambah banyaknya kehidupan mewah para pejabat negeri ini menyebabkan penggunaan uang rakyat tidak efisien.
Pemborosan anggaran juga banyak terjadi dalam pos-pos tertentu, misalnya pada belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan transfer ke daerah. Memang dibutuhkan tenaga ekstra untuk menyisir mata anggaran mana yang dianggap efektif dan mana yang masuk kategori pemborosan. Namun, bukan rahasia lagi, penyusunan anggaran yang seadanya yang sarat dengan transaksi politik dan pemburu rente sangat banyak dijumpai dalam pos-pos belanja tersebut. Efisiensi belanja pemerintah diharapkan mampu dialihkan menjadi dana yang dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat.
4.      Menjadikan pengalaman empiris sebagai pelajaran berharga
Secara teoritis, dana alokasi untuk subisidi dapat digunakan untuk membiayai program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik langsung seperti pemberian jaminan sosial maupun tidak langsung berupa peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur sehingga mampu mempercepat perputaran roda ekonomi.
Namun, pengalaman empirik menunjukkan, kenaikan BBM akan menggerek inflasi, berupa kenaikan harga-harga barang. Akibatnya, daya beli masyarakat merosot. Jumlah penduduk miskin makin besar. Penduduk yang sebelumnya tidak dikategorikan miskin jatuh miskin. Pasalnya, transportasi dan belanja BBM telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Untuk penduduk di pedesaan, misalnya, mengutip survei BPS 2014, belanja BBM menempati urutan kedua setelah perumahan untuk komoditas non makanan.
Lazimnya, ketika inflasi naik, suku bunga perbankan ikut terkerek naik. Akibatnya, dunia usaha tidak hanya terpukul oleh naiknya biaya energi dan transportasi, namun juga biaya modal. Jika mereka tidak dapat berkompetisi dalam situasi tersebut, pilihannya adalah melakukan pengurangan kapasitas produksi, penghentian sementara hingga penutupan total. Hal tersebut tentu berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan berbagai efek berantai lainnya. Apalagi Pemerintah juga telah menaikkan secara bertahap biaya tarif listrik. Industri yang sensitif terhadap perubahan harga energi, seperti industri tekstil dan industri logam, paling banyak yang dirugikan. Beban APBN juga akan bertambah akibat inflasi termasuk tambahan untuk belanja sosial untuk penduduk miskin.
5.      Memperketat peluang monopoli
Pemerintah Indonesia memiliki 100% kekayaan alam yang ada di dalam wilayah negaranya, termasuk minyak, baik berdasarkan amanat UUD 1945 maupun syariat Islam sehingga pemerintah mampu menetapkan harga minyak semurah-murahnya bagi kemakmuran rakyat. Jika pemerintah menguasai seluruh kekayaan alamnya, maka tidak akan ada mekanisme subsidi dan utang dari luar negeri.
Setiap kebijakan terkait kekayaan negara wajib didistribusikan secara adil dengan mengutamakan kepentingan rakyat kecil. Kekayaan negara harus beredar ke seluruh rakyat dan mencegah monopoli pada golongan tertentu apalagi hanya golongan kaya semata.
Penutup

Kita masih akan melihat efek positif dari pencabutan subsidi  BBM  terutama dalam jangka panjang. Oleh karena itu, mari kita sebagai rakyat terus ikut berkontribusi dalam pembangunan negara dan perbaikan pengelolaan negara, jangan hanya sekadar mengutuk, menyebarkan rasa pesimis, dan membuat kacau suasana. Seperti kata Adlai Stevenson, “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar