POLITIK AYAT
Hefni Zain*
Setelah “politik
uang” menjadi kategori baru dalam kamus politik kontemporer, kita mulai heboh
dengan “politik ayat”. “Ayat” adalah serapan Arab yang berarti tanda atau
simbol. Dalam al-Quran kata “ayat” digunakan untuk aneka arti dan konteks.
Secara kebahasaan, “ayat” terbagi dua; 1) ayat qauliyah, yaitu tanda-tanda
verbal; 2) ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kosmik berupa entitas-entitas dan
kejadian-kejadian alam.
Disebut “ayat
suci” karena tidak sembarang mulut dan tangan bisa menafsirkan dan mengutipnya.
Penambahan “suci” demi membedakannya dari butir-butir undang-undang, surat
kontrak dan sebagainya. Disebut “Kalam Tuhan” karena setiap kata yang tertera
di dalamnya adalah wahyu. Disebut wahyu karena kebenarannya mutlak. Penafsiran
dan persepsi setiap umat tetaplah relatif. Namun itu tidak berarti setiap orang
berhak menafsirkannya lalu menerapkannya begitu saja.
Satu hal penting
yang perlu diketahui, siapapun, bahkan selain Muslim boleh mengutip teks
terjemahan resmi/benar ayat suci al-Quran, tapi tak boleh menafsirkannya
apalagi menjadikan bahan justifikasi sikap yang belum dipastikan benar. Muslim
yg tak kompeten pun demikian. Untuk menafsirkannya, diperlukan sejumlah ilmu
supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat. Begitu sakral kitab
ini hinggaannya. Para ulama sejati alias agamawan dengan kualifikasi
intelektual dan spiritual prima tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena
menghormatinya dengan kerendahan hati dan menyadari keterbatasan pemahamannya.
Seperti biasa menjelang
pemilu, pilpres, pilgub dan pilkada, selain politik uang, politik ayat juga
marak. Sentimen sektarian dan kampanye hitam bermuara SARA selalu mewarnai
kompetisi politik. Sayangnya, yang menentang calon tak seagama menghamburkan
ayat, riwayat dan hikayat. Yang mendukungnya juga tak kalah gencar menggelar
ayat, hadis dan mengutip sahabat terpandai Nabi. Masing-masing mengobral
teologi kekuasaan dengan sampul konsistensi atau dengan dalih toleransi. Inilah
politik ayat.
Menolak pemimpin
yg kebetulan non Muslim tak berarti menolak ke-nonmusliman-nya. Mendukung calon
yang kebetulan beragama Islam tak niscaya intoleran dan anti non Muslim.
Sebagian orang yang indepeden dalam sikap politik dan toleran tidak merisaukan
agama calon pemimpin, namun yang mereka persoalkan adalah kebijakan yang
dianggap tidak manusiawi atau alasan-alasan logis lainnya.
Untuk dapat
memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap
batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif. Saat
masyarakat awam dibodohi dengan opini bahwa pilgub adalah pertarungan agama,
maka yang menjadi korban adalah agama, ayat suci dan rakyat yang lugu.
Siapapun, yang memperalat ayat suci yang sengaja diarahkan tafsirnya demi
mengambil kekuasaan atsu melucutinya, dan pihak meresponnya secara emosional,
karena dideskreditkan, bisa dianggap mempermainkannya. Saat itu yang terjadi
adalah kompetisi jorok dan perkelahian bebas dengan pembunuhan karakter,
pemelintiran, intimidasi dan semua kreasi kenistaan.
Al-Quran bagi
yang mengerti maknanya adalah ilmu dan hikmah, dan bagi yang tidak mengerti
maknanya adalah sumber inspirasi, ketenangan dan berkah. Disebut Quran karena
bisa dibaca. Disebut Kitab karena bisa ditulis. Disebut Dzikr karena bisa
diingat. Disebut Furqan karena jadi pembeda kebenaran dan kepalsuan. Al-Quran
adalah petunjuk bagi semua manusia (هدى للناس) sebagai aturan yang ditafsirkan, dan
pedoman bagi yang bertaqwa (هدى للمتقين) sebagai penafsir.
Al-Quran bukan
buku yang bisa ditafsirkan setiap orang. Untuk menafsirkannya, diperlukan
sejumlah ilmu supaya aplikatif, relevan dan selaras dengan akal sehat. Ilmu-ilmu
yang diperlukan sebagai bekal menggali isi al-Quran disebut ulumul-Quran yang
menghimpun sekitar 10 ilmu dan sejumlah ilmu penunjang lainnya. Ilmu-ilmu
Al-Quran meliputi tafsir, takwil asbabunnuzul, qiraat dan tajwid, filologi,
morfologi, sejarah pencatatan Quran & rasm, khath, gramatika dan lain
sebagainya. Begitu sakral kitab ini hingga mengomentari/menafsirkannya tanpa
kompetensi dan kehati-hatian bisa dianggap menodainya dan berdusta atas nama
Tuhan.
Al-Quran
mempunyai 2 dimensi; eksotetik (lahir) yang harus dipahami secara rasional, dan
esoterik (batin) yang mesti dieksplorasi secara intuitif.
Sayangnya, tidak
sedikit orang yang tidak mematuhi asas kompetensi menafsirkan al-Quran secara
literal dengan bekal ala kadarnya hingga membonsainya dengan penafsiran yang
justru mereduksi isinya dan menampilkannya seolah karya manusia. Untuk dapat
memahami makna lahir Quran diperlukan intelektualitas prima dan untuk menangkap
batinnya perlu spiritualitas maksimal supaya tafsirnya komprehensif.
Agamawan dengan
kewaraan intelektual tidak gampang mengutip ayat al-Quran karena menghormatinya
dengan kerendahan hati dan mnyadari keterbatasan pemahamannya. Karena Quran
ditafsirkan dan dijelaskan secara literal, ia kadang terkesan tidak up to date
dan tidak aplikatif, muslim modern lebih menyimak motivator ketimbang ulama. Bahkan
karena mindset skripturalisme yang menjangkiti orang orang ekstremis, ayat suci
yang dikutip serampangan bisa dijadikan justifikasi pengkafiran dan agresi.
Sejarah
melaporkan bahwa al-Quran sering dimanipulasi dan dieksploitasi demi
kepentingan status quo dan hasrat sektarianisme dan tribalisme. Khawarij dan
para penguasa gemar menjadikan Quran sebagai alat represi. Kini banyak modus
radikalisasi berkedok program agama dan aktivitas keagamaan dengan dukungan
dana berlimpah dari kekuasaan asing yang secara faktual terbukti menjadi
penyebar radikalisme dan ekstremisme melalui paham keagamaan yang kaku,
intoleran dan mengagungkan kekerasan berbungkus salaf.
Umat Islam
terutama di Tanah Air sedang mengalami fase krusial karena menjadi target
radikalisasi. Indikasi-indikasinya kian tampak. Propaganda pengkafiran,
penyesatan, pensyirikan, pembid’ahan dan segala ujaran kebencian disebarkan
melalui media sosial dan situs-situs yang secara terang-terangan menyebarkan
doktrin yang hanya mengakui hak hidup orang orang yang sekeyakinan.