Oleh : Hefni Zain
Jati diri mahasiswa
boleh jadi memang kompleks dan kaya dimensi, sehingga status dan perannya
sering dilukiskan sebagai calon untuk
peran penting didalam sistem kehidupan
masa depan. Hal tersebut didasarkan pada
konsederasi bahwa : (1) Dari sisi usia, mahasiswa tergolong
elit pemuda yang penuh vitalitas,
memiliki motivasi dan idealisme tinggi yang jika potensi ini mendapatkan pembinaan yang kondusif akan melahirkan sumber daya yang dahsyat dan
produktif guna mendobrak stagnasi sosial
dilingkungannya. (2) Dari sisi sosial, mahasiswa
mempunyai kewajiban untuk berperan efektif dalam menjalankan tugasnya sebagai moral
force dan social control disamping –yang terpenting- sebagai pengusul cara cara alternatif bagi
penyelesaian pelbagai problematika yang datang secara fluktuatif. (3) Dari sisi ekonomi,
mahasiswa dianggap calon tenaga profesional yang diharapkan mampu membuka dan
menyiapkan lapangan kerja secara mandiri, bukan manusia konsumtif yang bermental buruh, apalagi hanya menjadi beban
pembangunan sebagai penganggur elit. (4) Dari sisi politik,
mahasiswa menempati middle class yang berfungsi sebagai mediator dan
fasilitator antara aspirasi wong alit dengan elit pemerintah, juga sebagai presure
group yang istiqomah melakukan control kritis terhadap pelbagai
penyimpangan yang terjadi. (5) Dari sisi keilmuan,
mahasiswa adalah komunitas yang sangat
dinamis dalam melakukan pengajian, pengkajian dan pengujian sehingga melahirkan
eksplorasi intelektual yang up to date, karena keterdidikan dan trade
marknya itulah mereka sering disebut sebagai intelektual muda yang digambarkan
sebagai nations asset yang prospektif dan strategis baik dimasa kini
sebagai change designer pembangunan
maupun di masa yang akan datang sebagai pewaris cita-cita perjuangan
bangsa.
Legitimasi
ini bukan sebuah otopia, melainkan didasarkan pada fakta historis yang
menunjukkan bahwa dinamika kiprah mahasiswa dari berbagai perspektifnya mulai
dekade 1908, 1928, 1930, 1945, 1966
hingga era reformasi 1998 terlihat begitu dominan sehingga
menjadi kekuatan anomi yang mampu mengantarkan rakyat indonesia pada babak baru
sejarah dibawah episode kepeminpinan nasional yang menekankan pada god
goverman dan bersih dari berbagai bentuk
penyimpangan.
Namun kiprah yang
membanggakan tersebut kini mulai melemah, ada dua faktor yang
menjadi penyebabnya, yakni faktor eksternal berupa kebijakan pemerintah
yang menerapkan konsep normalisasi kehidupan kampus dengan istilah come back
to campus, kebijakan tersebut menempatkan mahasiswa sebagai man of rationing dan bukan man of public meeting, kiprah mahasiswa dalam ranah politik praktis oleh pemerintah dianggap tidak
relevan dengan tri darma perguruan tinggi, bahkan dalam batas batas tertentu
dianggap mengganggu stabilitas nasional. Kebijakan ini telah
membuat ruang gerak mahasiswa menjadi terpasung, sebab gerakan mahasiswa harus
tetap berada dalam line distribusi program yang telah terpaketkan, dan
bukan lagi pada ideologi yang independen. Mahasiswa semakin tak berdaya setelah ada aksi penangkapan, penculikan,
sangsi akademis, skorsing bahkan pemecatan. Episode
inilah yang oleh mayoritas aktivis mahasiswa dianggap sebagai longceng kematian
bagi masa depan gerakan kemahasiswaan.
Kondisi ini kian
diperparah oleh faktor internal mahasiswa sendiri , yakni berupa kurang matangnya sikap mental, prangkat
nilai, kualitas keilmuan dan skill mereka dalam
merespon perkembangan sosial yang kian vulgar, sebagian besar dari mereka apatis dan cuek, bahkan mereka lebih suka pada hal-hal yang bersifat pragmatis, rekreatif dan masa bodoh, yang mereka fikirkan
adalah bagaimana cepat selesai kuliah dengan IPK tinggi, cepat dapat kerja dan
cepat makmur. Realitas inilah yang kemudian menjadi penyebab utama
hancurnya mitos kewibawaan mahasiswa di pentas global, bila dulu mahasiswa
sering digambarkan sebagai macan kampus yang disegani, kini
macam itu hanya berasal dari kebun binatang yang terkesan sebagai tontonan dan
hiburan.
Tugas dan tanggung
jawab mahasiswa saat ini adalah mengembalikan pamornya pada posisi
semula, yakni sebagai intelektual muda yang
membanggakan. Sebagai man of rationing, mahasiswa diharapkan tampil dengan kekuatan
logika dan bukan logika kekuatan. Eksistensinya secara prosentase harus lebih
banyak ditunjukkan melalui unjuk karya bukan unjuk rasa. Kalaupun terpaksa
harus unjuk rasa, aksinya mesti berbasis otak sehingga berbeda dengan aksi
tukang becak yang berbasis otot. Aksi mahasiswa berbeda dengan yang lain karena
berbasis idealisme dengan data yang valid, argumentasi yang kokoh, dan varian
yang solutif serta disampaikan dengan pikiran yang matang dan tenang. Bukan “logika
pokoknya” yang disampaikan dengan tensi tegang, wajah garang dan emosi
meletup-letup. tipologi aksi mahasiswa sejak dulu adalah membakar semangat,
idealisme dan menawarkan solusi cerdas sehingga aksinya berkelas, bukan bakar
ban bekas.
Maka minimal terdapat
berberapa prinsip yang harus dipegang mahasiswa
untuk mewujudkan kelasnya
tersebut, antara lain : kembali pada gerakan
keilmuan, gerakan kemanusiaan, artinya, suatu gerakan yang berpihak pada nilai
nilai humanisme, mengusung muatan nilai rahmatan lil alamin melampaui
sekat ego sektarian, gerakan yang dilakukan
berorientasi pada kemaslahatan, yakni keberpihakan
gerakan mahasiswa terhadap nilai-nilai kebenaran dan
keadilan. gerakan yang berorientasi pada pembebasan, yakni pembebasan manusia
dari kebodohan, kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Semua gerakan
diatas harus selalu berada dalam bingkai terapiotik, solutif, efektif, efisien, santun dan terutama nir kekerasan., bila itu yg dilakukan
publik akan berteriak hidup “MAHA-siswa”,
bukan hidupi “maha-SISWA”#